Senin, 22 Juli 2013

TEORI BELAJAR KONTRUKTIVISME

TEORI  BELAJAR  KONTRUKTIVISME

A.    Pengertian Kontruktivisme
Kontruktivisme adalah  siswa mengkonstruksi/membangun  pemahaman  mereka  sendiri  dari  pengalaman  baru  berdasar  pada pengetahuan  awal melalui  proses  interaksi  sosial  dan  asimilasi-akomodasi. Implikasinya  adalah  pembelajaran  harus  dikemas  menjadi  proses “mengkonstruksi”  bukan  menerima  pengetahuan.  Inti  dari  inquiry    atau  menyelidiki  adalah  proses  perpindahan  dari  pengamatan  menjadi pemahaman. Oleh karena itu dalam kegiatan ini siswa belajar menggunakan keterampilan  berpikir  kritis.

B.     Pengertian pengetahuan menurut teori konstruktivistik :
Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu pernyataan yang sedang dipelajari,melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap objek,pengalaman maupun lingkungannya.
Pengetahuan bukanlah suatu yang sudah ada dan tersedia,sehinggan orang tinggal menerimannya,melainkan suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman pemahaman baru.
Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada orang lain yang belum memiliki pengetahuan tersebut.
Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ditentukan, melainkan suatu proses pembentukan.semakin banyak seseorang berinteraksi  dengan objek dan lingkungannya,maka pengetahuan dan pemahamannya akan objek dan lingkungan tersebut akan meningkat dan lebih rinci.

C.    Pengertian Belajar menurut Teori Konstruktivistik :
Ø  Belajar adalah proses pemberian makana atas informasi atau pengalaman yang diterima.
Ø  Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya daripada fakta-fakta yang terlepas-lepas
Ø  Belajar adalah proses pembentukan pengetahuan dan pembentukan ini harus dilakukan oleh orang yang belajar ,sehingga orang tersebut harus melakukan kegiatan,aktif berfikir,menyusun konsep, dan memberi makna terhadap hal-hal yang sedang dipelajari.
Ø  Kendali belajar yang sepenuhnya ada pada siswa ,peran guru membantu agar  proses  pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar.
Ø  Pandangan konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal (inherent inner ability) sebelum mempelajari sesuatu.Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru.

D.    Tugas utama guru menurut pandangan konstruktivistik :
·         Menumbuhkan kemandirian
·         Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak
·         Menyediakan dukungan dalam proses belajar siswa agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih

E.     Pandangan Tokoh-Tokoh Konstruktivistik:
  • Rutherforddan Anlgren
            Siswa telah memiliki cara sendiri dalam memproses informasi yang diterima,untuk itu guru berperan mengarahkan agar proses pembentukan pengetahuan berjalan sesuai dengan yang diharapkan

  • John Dewey
            Pendidik yang baik harus melaksanakan proses pembelajaran yang memungkinkan terjadi proses kostruksi pengetahuan dalam diri siswa

·         Von Glaserfeld
            Ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses konstruksi pengetahuan, yaitu sbb :
1)      Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman
2)      Kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan
3)      Kemampuan untuk lebih menyukai suatu       pengalaman dari pengalaman lainnya

  • Vygoytsky
            Pembelajaran terjadi dalam konteks sosial yang memungkinkan terjadi interaksi antara sesama siswa dan juga guru

  • Pembelajaran konstruktivistik :
            Adalah proses pembelajaran yang memungkikan siswa menyusun sendiri pengetahuannya berdasarkan informasi dan pengalaman yang diterima
Dalam proses pembelajaran,siswa akan menyesuaikan informasi yang diterima dengan pengetahuan yang telah dimilikinya sebelumnya

F.     Karakteristik pembelajaran konstruktivistik :
v  Materi disajikan mulai dari hal-hal yang umum menuju ke hal-hal yang khusus
v  Pembelajaran lebih mengenai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa
v  Pembelajaran lebih banyak mengandalkan sumber sumber data primer
v  Siswa dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori baru
v  Siswa banyak belajar dan bekerja dalam ‘group process’
v  Bentuk evaluasi lebih diarahkan pada autentic asessment dan portofolio


Sejauh ini pendidikan masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus di hafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan. Kemudian ceramah sebagai pilihan utama strategi belajar. Untuk itu, diperlukan sebuah strategi belajar baru yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri.
Menurut Filosofi Konstruktivisme, pengetahuan bersifat non-obyektif, temporer, dan selalu berubah. Segala sesuatu bersifat temporer, berubah, dan tidak menentu. Kitalah yang memberi makna terhadap realitas yang ada. Pengetahuan tidak pasti dan tidak tetap. Belajar adalah pemaknaan pengetahuan, bukan perolehan pengetahuan dan mengajar diartikan sebagai kegiatan atau proses menggali makna, bukan memindahkan pengetahuan kepada orang yang belajar. Otak atau akal manusia berfungsi sebagai alat untuk melakukan interpretasi sehingga muncul makna yang unik.
Salah satu prinsip penting dari Psikologi pendidikan adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide, dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan kepada siswa tangga yang dapat membantu mereka mencapai tingat pemahaman yang lebih tinggi, sehingga prestasi mereka semakin meningkat, tetapi harus tetap diupayakan agar siswa sendiri yang memanjat tangga tersebut.

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DAN IMPLEMENTASINYA

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DAN IMPLEMENTASINYA

A.    Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran  kontekstual  merupakan  pembelajaran  yang  mengkaitkan materi  pembelajaran  dengan  konteks  dunia  nyata  yang  dihadapi  siswa sehari-hari  baik  dalam  lingkungan  keluarga,  masyarakat,  alam  sekitar  dan dunia kerja, sehingga siswa mampu membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, dengan melibatkan  tujuh  komponen  utama  pembelajaran  yakni  :  kontruktivisme (constructivism),  bertanya  (questioning),  menyelidiki  (inquiry),  masyaraka belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian autentik (authentic assessment).  
Makna dari  kontruktivisme adalah  siswa mengkonstruksi/membangun  pemahaman  mereka  sendiri  dari  pengalaman  baru  berdasar  pada pengetahuan  awal melalui  proses  interaksi  sosial  dan  asimilasi-akomodasi. Implikasinya  adalah  pembelajaran  harus  dikemas  menjadi  proses “mengkonstruksi”  bukan  menerima  pengetahuan.  Inti  dari  inquiry    atau  menyelidiki  adalah  proses  perpindahan  dari  pengamatan  menjadi pemahaman. Oleh karena itu dalam kegiatan ini siswa belajar menggunakan keterampilan  berpikir  kritis.

Pokok-pokok pandangan Progresivisme antara lain:
1)      Siswa belajar dengan baik apabila mereka secara aktif dapat mengkonstruksi sendiri pemahaman mereka tentang apa yang diajarkan oleh guru.
2)      Anak harus bebas agar bisa berkembang wajar.
3)      Penumbuhan minat melalui pengalaman langsung untuk merangsang belajar.
4)      Guru sebagai pembimbing dan peneliti.
5)      Harus ada kerja sama antara sekolah dan masyarakat.
6)      Sekolah Progresif harus merupakan Laboratorium untuk melakukan Eksperimen.

Bertanya  atau  questioning  dalam  pembelajaran kontekstual  dilakukan  baik  oleh  guru  maupun  siswa.  Guru  bertanya dimaksudkan  untuk  mendorong,  membimbing  dan  menilai  kemampuan berpikir  siswa. Sedangkan  untuk  siswa  bertanya meupakan  bagian  penting dalam  pembelajaran  yang  berbasis  inquiry. Masyarakat  belajar merupakan sekelompok  orang  (siswa)  yang  terikat  dalam  kegiatan  belajar,  tukar pengalaman, dan berbagi pengalaman.   Sesuai dengan  teori kontruktivisme, melalui  interaksi  sosial  dalam  masyarakat  belajar  ini  maka  siswa  akan  mendapat  kesempatan  untuk mengkonstruksi  pengetahuannya  sendiri,  oleh
karena itu bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri. 
Pemodelan  merupakan  proses  penampilan  suatu  contoh  agar  orang  lain  (siswa)  meniru,  berlatih,  menerapkan  pada  situasi  lain,  dan  mengembangkannya.  Menurut  Albert  Bandura,  belajar  dapat  dilakukan dengan cara pemodelan ini. Penilaian autentik dimaksudkan untuk mengukur dan membuat keputusan  tentang pengetahuan dan keterampilan siswa yang autentik  (senyatanya).  Agar  dapat  menilai  senyatanya,  penilaian  autentik  dilakukan  dengan  berbagai  cara  misalnya  penilaian  penilaian  produk, penilaian  kinerja  (performance),  potofolio,  tugas  yang  relevan  dan kontekstual, penilaian diri, penilaian  sejawat dan  sebagainya. Refleksi pada prinsipnya  adalah  berpikir  tentang  apa  yang  telah  dipikir  atau  dipelajari, dengan  kata  lain  merupakan  evaluasi  dan  instropeksi  terhadap  kegiatan
belajar yang telah ia lakukan.

Alasan perlu diterapkannya pembelajaran kontekstual  adalah : 
1.      Sebagian  besar  waktu  belajar  sehari-hari  di  sekolah  masih  didominasi  kegiatan  penyampaian  pengetahuan  oleh  guru,  sementara  siswa ”dipaksa”  memperhatikan  dan  menerimanya,  sehingga  tidak menyenangkan dan memberdayakan siswa.
2.      Materi  pembelajaran  bersifat  abstrak-teoritis-akademis,  tdak  terkait dengan masalah-masalah  yang  dihadapi  siswa  sehari-hari  di  lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar dan dunia kerja.
3.      Penilaian  hanya  dilakukan  dengan  tes  yang menekankan  pengetahuan, tidak menilai  kualitas dan  kemampuan belajar  siswa  yang autentik pada situasi yang autentik.
4.      Sumber  belajar masih  terfokus pada  guru  dan  buku. Lingkungan  sekitar belum dimanfaatkan secara optimal.
Selain teori Progresivisme John Dewey, teori kognitif juga melatarbelakangi filosofi pembelajaran Kontekstual. Siswa akan belajar dengan baik apabila mereka terlibat secara aktif dalam kegiatan di kelas dan berkesempatan untuk menemukan sendiri. Siswa menunjukkan hasil belajar dalam bentuk apa yang dapat mereka ketahui dan apa yang dapat mereka lakukan. Belajar di pandang sebagai usaha atau kegiatan intelektual untuk membangkitkan ide-ide yang masih laten melalui kegiatan Intropeksi.
Disamping itu siswa yang menggunakan strategi kognitif memungkinkan ketika ia mengikuti berbagai uraian dari apa yang sedang ia baca, apa yang ia pelajari, mungkin ketrampilan intelektual, mungkin informasi. Dia menggunakan strategi kognitif untuk memilih dan menggunakan kode bagi apa yang dia pelajari, dan strategi lain untuk mengungkapkannya kembali. Yang terpenting, dia menggunakan beberapa strategi kognitif dalam memikirkan apa yang telah ia pelajari dan dalam memecahkan masalah. Strategi kognitif adalah cara yang dimiliki pelajar dalam mengelola proses belajar.

B.     Penerapan Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran  dikatakan  mengunakan  pendekatan  kontekstual  jika  materi  pembelajaran  tidak  hanya  tekstual  melainkan  dikaitkan  dengan peneapannya  dalam  kehidupan  sehari-hari  siswa  di  lingkungan  keluarga, masyarakat,  alam  sekitar,  dan  dunia  kerja,  dengan  melibatkan  ketujuh komponen  utama  tersebut  sehinggga  pembelajaran menjadi  bermaknabagi siswa.  Model  pembelajaran  apa  saja  sepanjang  memenuhi  persyaratan  tersebut dapat  dikatakan  menggunakanpendekatan  kontekstual. Pembelajaran  kontekstual  dapat  diterapakan  dalam  kelas  besar  maupun kelas  kecil,  namun  akan  lebih mudah  organisasinya  jika  diterapkan  dalam kelas  kecil. Penerapan  pembelajaran  kontekstual  dalam  kurikulum  berbasis kompetensi sangat sesuai.
Dalam  penerapannya  pembelajaran  kontekstual  tidak  memerlukan biaya  besar  dan  media  khusus.  Pembelajaran  kontekstual  memanfaatkan berbagai  sumber  dan  media  pembelajaran  yang  ada  di  lingkungan  sekitar seperti tukang las, bengkel, tukang reparasi elektronik, barang-barang bekas, koran,  majalah,  perabot-perabot  rumah  tangga,  pasar,  toko,  TV,  radio, internet,  dan  sebagainya.  Guru  dan  buku  bukan  merupakan  sumber  dan media sentral, demikian pula guru tidak dipandang sebagai orang yang serba tahu,  sehingga  guru  tidak  perlu  khawatir menghadapi  berbagai  pertanyaan iswa yang terkait dengan lingkungan baik tradisional maupun modern. 
 Seperti  yang dikemukakan di muka, dalam pembelajaran  kontekstual tes  hanya  merupakan  sebagian  dari  teknik/  instrumen  penelitian  yang bermaca-macam  seperti  wawancara,  observasi,  inventory,  skala  sikap, penilaian  kinerja,  portofolio,  jurnal  siswa,  dan  sebagainya  yang  semuanya disinergikan  untuk menilai  kemampuan  siswa    yang  sebenarnya  (autentik). Penilainya bukan hanya guru saja tetapi juga diri sendiri, teman siswa, pihak lain  (teknisi, bengkel,  tukang   dsb.). Saat penilaian diusahakan pada situasi yang  autetik  misal  pada  saat  diskusi,  praktikum,  wawancara  di  bengkel, kegiatan belajar-mengajar di kelas dan sebagainya.siswa.
Dalam  pembelajaran  kontekstual  rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) sebenarnya  lebih bersifat sebagai  rencana pribadi dari pada sebagai laporan untuk kepala sekolah atau pengawas seperti yang dilakukan saat ini. Jadi  RPP  lebih  cenderung  berfungs  mengingatkan  guru  sendiri  dalam menyapkan  alat-alat/media  dan  mengendalikan  langkah-langkah  (skenario) pembelajaran sehingga bentuknya lebih sederhana. 
Beberapa  model  pembelajaran  yang  meruapakan  aplikasi pembelajaran  kontekstual  antara  lain model  pembelajaran  langsung  (direct instruction),  pembelajaran  koperatif  (cooperatif  learning),  pembelajaran berbasis masalah (problem based learning). 

1.      Model Pembelajaran Langsung
Inti  dari  model  pembelajaran  langsung  adalah  guru  mendemonstrasikan  pengetahuan  atau  keterampilan  tertentu,  selanjutnya melatihkan keterampilan  tersebut selangkah demi selangkah kepada siswa. 
Rasional  teoritik  yang  melandasi  model  ini  adalah  teori  pemodelan  tingkah  laku  yang  dikembangkan  oleh  Albert  Bandura.  Menurut  Bandura, belajar dapat dilakukan melalui pemodelan (mencontoh, meniru) perilaku dan pengalaman  orang  lain.    Sebagai  contoh  untuk  dapat  mengukur  panjang  dengan  jangka  sorong,  siswa  dapat  belajar  dengan  menirukan  cara mengukur panjang dengan jangka sorong yang dicontohkan oleh guru.
  Tujuan  yang  dapat  dicapai melalui model  pembelajaran  ini  terutama adalah  penguasaan  pengetahuan  prosedural  (pengetahuan  bagaimana melakukan  sesuatu  misalnya  mengukur  panjang  dengan  jangka  sorong, mengerjakan  soal-soal  yang  terkait  dengan  hukum  kekekalan  energi,  dan menimbang benda dengan neraca Ohauss), dan atau pengetahuan deklaratif (pengetahuan  tentang  sesuatu  misal  nama-nama  bagian  jangka  sorong, pembagian skala nonius pada micrometer sekrup, dan  fungsi bagian-bagian neraca Ohauss),  serta  keterampilan  belajar  siswa  (misal   menggarisbawahi kata  kunci,  menyusun  jembatan  keledai,  membuat  peta  konsep,  dan membuat rangkuman).
Model  pembelajaran  ini    cenderung  berpusat  pada  guru,  sehingga sebagian  besar  siswa  cenderung  bersikap  pasif,  maka  perencanaan  dan pelaksanaan hendaknya sangat hati-hati. Sistem pengelolaan permbelajaran yang  dilakukan  oleh  guru  harus  menjamin  keterlibatan  seluruh  siswa  khususnya dalam memperhatikan, mendengarkan, dan resitasi (tanya jawab). Pengaturan  lingkungan  mengacu  pada  tugas  dan  memberi  harapan  yang tinggi agar siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran.

2.      Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Inti  dari  pembelajaran  berbasis masalah  adalah  guru menghadapkan  siswa  pada  situasi  masalah  kehidupan  nyata  (autentik)  dan  bermakna, memfasilitasi siswa untuk memecahkannya  melalui penyelidikan/ inkuari dan  kerjasama, memfasilitasi dialog dari berbagai segi, merangsang siswa untuk menghasilkan karya pemecahan dan peragaan hasil.
Rasional  teoritik  yang  melandasi  model  ini  adalah teori konstruktivisme    Piaget  dan  Vigotsky,  serta  teori  belajar  penemuan  dari Bruner.  Menurut    teori  konstruktivisme  pengetahuan  tidak  dapat  ditransfer dari  guru  ke  siswa  seperti  menuangkan  air  dalam  gelas,  tetapi siswa mengkonstruksi  sendiri  pengetahuannya  melalui  proses  intra-individual asimilasi  dan  akomodasi    (menurut Piaget)  dan  proses  inter-individual  atau sosial  (menurut Vigotsky). Menurut Bruner belajar  yang  sebenarnya  terjadi melalui penemuan, sehingga dalam proses pembelajaran hendaknya banyak menciptakan  peluang-peluang untuk aktivitas penemuan siswa.
Tujuan  yang  dapat  dikembangkan  melalui  model    pembelajaran  ini adalah  keterampilan  berfikir  dan  pemecahan  masalah,  kinerja  dalam menghadapi situasi kehidupan nyata, membentuk pebelajar yang otonom dan  mandiri.
Lingkungan belajar dan sistem pengelolaan pada model pembelajaran berbasis masalah  ini dicirikan oleh   adanya sifat  terbuka, proses demokrasi, dan peranan aktif siswa. Keseluruhan proses diorientasikan  untuk membantu siswa  menjadi  mandiri,  otonom,  percaya  pada  keterampilan    intelektual sendiri  melalui  keterlibatan  aktif  dalam  lingkungan  yang  berorientasi  pada inkuiri terbuka dan bebas mengemukakan pendapat.

3.      Model Pembelajaran Koperatif
Inti  model  pembelajaran  koperatif  adalah  siswa  belajar  dalam kelompok-kelompok  kecil,  yang  anggota-anggotanya  memeliki  tingkat kemampuan  yang  berbeda  (heterogen).  Dalam  memahami  suatu  bahan pelajaran  dan  menyelesaikan  tugas  kelompok,  setiap  anggota  saling bekerjasama  sampai  seluruh  anggota menguasai  bahan pelajaran  tersebut.
Dalam  variasinya  ditemui  banyak  tipe  pendekatan  pembelajaran  koperatif misalnya STAD  (Student  Teams Achievement Division),  Jigsaw,  Investigasi Kelompok,  dan  Pendekatan  Struktural,  namun  tidak  dikemukakan  dalam materi diklat ini.
Rasional teoritik yang melandasi model ini adalah teori konstruktivisme Vigotsky  yang menekankan  pentingnya    sosiokultural  dalam  proses  belajar seperti tersebut di muka,  dan teori pedagogi John Dewey yang menyatakan bahwa  kelas  seharusnya  merupakan  miniatur  masyarakat  dan  berfungsi sebagai  laboratorium  untuk  belajar  kehidupan  nyata.  Guru  seharusnya menciptakan  di  dalam  lingkungan  belajarnya  suatu  sistem  sosial  yang bercirikan demokrasi dan proses ilmiah.
Tujuan yang dapat dicapai melalui model pembelajaran ini adalah hasil belajar akademik yakni penguasaan konsep-konsep yang sulit, yang melalui kelompok  koperatif  lebih  mudah  dipahami  karena  adanya  tutor  teman sebaya,  yang  mempunya  orientasi  dan  bahasa  yang  sama.  Disamping  itu hasil  belajar  keterampilan  sosial  yang  berupa  keterampilan  koperatif (kerjasama  dan  kolaborasi)  juga  dapat  dikembangkan  melalui  model pembelajaran ini.
Lingkungan belajar dan sistem pengelolaan pada model pembelajaran koperatif  ini  dicirikan  oleh      proses  demokrasi  dan  peran  aktif  siswa  dalam menentukan  apa  yang  harus  dipelajari  dan  bagaimana  mempelajarinya. Dalam  pengaturan  lingkungan  diusahakan  agar  materi  pembelajaran  yang lengkap  tersedia  dan  dapat  diakses  setiap  siswa,  serta  guru  menjauhi kesalahan tradisional yakni secara ketat mengelola tingkah-laku siswa dalam kerja kelompok.

MASALAH PSIKOLOGI ANAK YANG TIMBUL DARI PRILAKU

PERILAKU ANAK YANG MENGHAMBAT
PROSES BELAJAR MENGAJAR

Dasar- dasar pendidik yang memahami karakter anak didiknya, secara alami anak memerlukan pendidikan untuk menentukan mana yang hak atau mana yang tidak. Dalam hal ini seorang pendidik bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, pendidik dituntut untuk memahami serta mengerti berbagai karakter sifat dan anak didiknya.
Setiap anak mempunyai permasalahan yang berbeda apa lagi latar belakang keluarga, lingkungan dan segi perekonomian. Kadang-kadang pendidik mengalami juga ketidak berhasilan dalam mengatasi anak didiknya yang bermasalah.
Untuk mengatasi anak yang bermasalah, diperlukan adanya sikap tegas dan bertanggung jawab dari seorang pendidik, tetapi kita tidak bis memungkirinya, pada kenyataannya di sekolah sikap ketegasan ini kadang-kadang dikalahkan oleh rasa jemu dan masa bodoh dari seorang pendidik, apabila si anak yang tadinya nakal menjadi ta’at mematuhi tata tertib di sekolah, ia akan menjadi nakal kembali. Karena tidak adanya pengawasan dan pembinaan secara terus menerus. Apalagi seorang pendidik masa bodoh terhadap anak didiknya, anak yang patuh pun akan ikut-ikutan melanggar peraturan. Karena tidak adanya perhatian dari pendidik terhadap anak yang baik maupun yang nakal.
Seharusnya dari sikap pendidik sendiri harus menerapkan sikap tegas dan bertanggungjawab dalam keputusannya, anak yang berkelakuan baik harus dihargai dan anak yang selalu melanggar harus menerima hukuman, sanksi dan teguran.
Keberhasilan pembimbing anak didik disekolah dalam mematuhi tata tertib, tidak luput dari adanya perhatian khusus dari si pendidik itu sendiri dan sikap ingin menjadikan anak didiknya menjadi anak didik yang berbudi pekerti yang luhur serta dari sikap keteladanannya.

a. Anak Yang Suka Berkelahi
Kita sering melihat anak didik yang sering berkelahi di sekolah, apakah itu pada waktu istirahat ataupun pada waktu pelajaran berlangsung, mungkin kalau sesekali wajar-wajar saja bagi dunia anak-anak, tapi kalau sudah mendapat julukan jago berkelahi,kemungkinan ini yang harus mendapat perhatian khusus dari pendidik dan secepatnya mengupayakan penyelesaiannya.
Penyebab akan suka berkelahi diantaranya : dikarenakan dari sikap si pendidik itu sendiri yang selalu pilih kasih terhadap anak didiknya, adanya prestasi yang dimiliki temannya di sekolah. Sedang ia sendiri sering tertinggal, dengan demikian timbul sikap iri atau cemburu pada dirinya, rasa cemburu dan iri ini dilampiaskan dengan cara mengganggu teman-temannya. Baik secara lembut maupun secara kasar, anak didik yang seperti ini sering sekali menunjukkan kelebihannya atau ingin mendapat perhatian dari pendidik yaitu dengan cara berkelahi.
b. Anak Yang Suka Mencuri
Mencuri adalah sebutan terhadap orang yang suka mengambil barang orang lain dngan tidak sepengetahuan si pemiliknya, perbuatan ini adalah merupakan penyelewengan prilaku, pada mulanya jika ada barang temannya yang jatuh, ia secara diam-diam mengambilnnya, karena tidak ada teguran dari siapapun, lambat laun dia akan mengambil barang temannya di meja belajar ketika temannya tidak ada, dan selanjutnya kalau ia ingin sesuatu yang dimiliki temannya lalu tidak kesampaian, ia akan berani lebih jauh lagi, yaitu dengan cara mencuri ketika temannya tidak ada.
c. Anak Yang Suka Membuat Rebut Dikelas
Sebagian besar pada umumnya anak seusia SD, memiliki energi yang berlebihan, mereka melakukan kegiatan melebihi dengan teman-temannya, mereka mempunyai kepribadian yang aktif, juga dikarenakan faktor makanan.
Anak yang terlalu aktif, biasanya tidak bisa diam dalam waktu singkat, ia akan selalu bergerak dan melakukan apa saja, baik memakai fisiknya maupun dengan suaranya, anak yang demikian selalu menjengkelkan guru dikelasnya. Karena selalu berbuat ulah dan selalu mengganggu jalannya proses belajar mengajar.
d. Anak Yang Suka Bolos
Membolos adalah pulang pada waktu jam pelajaran belum selesai, atau dari rumah berangkat kesekolah tetapi kenyataannya bukan berangkat ke sekolah. Perbuatan semacam ini akan merugikan dirinya sendiri. Anak akan tertinggal pelajarannya, dan lebih bahaya lagi si anak akan menjadi nakal, karena kurang adanya pengawasan dan bimbingan dari pihak sekolah, tetapi sebaliknya ia akan meniru perbuatan yang negative dari lingkungan dimana ia bergaul.
Penyebab anak suka membolos diantaranya, karena sering mendapat olok-olokan dari teman-temannya atau dari gurunya, merasa jenuh terhadap yang ia ikuti / tidak bergairah dalam mengikuti pelajaran yang pendidik berikan. Penyebabnya mungkin si anak sukar untuk mengikuti pelajarannya, ataupun juga mungkin dikarenakan sering gurunya tidak masuk sekolah dan kurang adanya pengawasan dari pihak orang tua sendiri.
e. Anak Yang Pemalu
Apabila seorang guru menemui anak semacam ini kadang-kadang sangat menjengkelkan. Misalnya kalau disuruh membaca puisi didepan kelas tidak mau, disuruh menyelesaikan soal matematika tidak mau disuruh bermain-main dengan teman-temannya pun tidak mau juga. Pokoknya semua perintah atau perbuatan sekitarnya dapat menimbulkan perhatian orang banyak ia tidak mau melakukannya. Padahal perbuatan ini akan merugikan dirinya sendiri. Ia akan senantiasa ketinggalan di berbagai bidang kehidupan, apakah itu ditinjau dari segi pengetahuan sosial budaya dan sebagainya, untuk mengatasi pemalu ini kita harus mengetahui sebab-sebabnya.
Untuk pendidik sedapat mungkin harus menghindari dari pengaruh-pengaruh buruk  disamping di tunjang dengan pengetahuan dan metode yang tepat.
1. Cara Mengatasi Anak Yang Suka Berkelahi
Pendidik janganlah selalu membedakan terhadap anak didiknya, jangan memandang siapa orang tuanya, pujilah anak yang berprestasi dan bimbinglah anak tertinggal pelajarannya, dan janganlah sekali-kali menyebut kepada anak yang tertinggal dengan sebutan-sebutan yang tidak enak untuk didengar, karena dengan kata-kata itu akan mengganggu kepribadian anak tersebut, se akan akan menjadi kesal dan berontak atau kebaikannya. Anak akan menjadi pemalu dihadapan teman-temannya, kalau cara ini permasalahanya belum saja tuntas di tangani, maka langkah selanjutnya cara latar belakang keluarganya.
2. Cara Mengatasi Anak Yang Suka Mencuri
Cara mengatasi anak yang suka mencuri, cara mengatasi anak yang model begini pertama-tama kalau kedapatan anak yang berprilaku demikian si pendidik memanggil anak itu ketika teman-temannya tidak diberi pengertian. Bahwa pembuatan itu tidak baik dan merugikan orang lain serta melanggar peraturan agama dan Negara kemudian, pendidikan jangan memberi tahu kepada siapapun, kalau masih saja, ber sanksi atau hukuman yang kira-kira anak jera dan jangan sesekali menyebutnya yang tidak enak didengar. Sebab dampaknya secara psikologi bisa merendahkan kepribadian anak dimata teman-temannya.
3. Cara Mengatasi Anak Yang Suka Ribut
Anak semacam ini jangan dibentak-bentak karena teguran secara dibentak tidak akan mempan. Perlihatkan kepada dirinya bahwa gurunya sangat menyesal sekali atas perbuatan yang dilakukannya berilah anak itu pujian apabila berbuat rebut lagi.
4. Mengatasi Anak yang Suka Membolos
Buatlah situasi sekolah yang menyenangkan anak didik, jadikanla moto “Sekolahku istanaku” berilah bimbingan yang khusus bagi anak yang lebih pandai dan anak yang ketinggalan jadilah pendidik sebagai panutan anak didiknya. Artinya jangan sering meninggalkan tugas, berkonsultasilah dengan pihak orang tuanya dalam memecahkan masalah anaknya. Kalau saja si anak itu suka membolos, cara latar belakang penyebabnya.


KESIMPULAN
Belajar untuk mematuhi peraturan atau tata-tertib sekolah, memang membutuhkan waktu yang cukup lama, apa lagi bagi seorang anak yang memang masih membutuhkan bimbingan baik dari gurunya di sekolah maupun dari orang tuanya, yang terpenting kita tidak cepat putus asa dalam mendidik dan membimbing anak-anak didik kita dan jalin komunikasi antara pihak sekolah dengan pihak orang tua murid.

MASALAH PSIKOLOGI ANAK

MASALAH PSIKOLOGI ANAK

1.      ANAK SUKA BERBOHONG
Kemunugkinan besar anak berbohong disebabkan oleh karena ORANG TUA acap kali melarang anak untuk mengatakan atau menceritakan sesuatu peristiwa atau kejadian yang benar. Sebagai ilusterasi, "Jagad secara terus terang mengatakan kepada ibunya bahwa ia sangat membenci adiknya yang bernama Jayeng dan pernah mencubit adiknya itu sampai menangis meraung-raung." Mendengar pernyataan ini Ibunya langsung mencubit paha Jagad bahkan menampar pihinya hingga memar memerah.
Suatu ketika Jagad marah lagi pada adiknya karena mengganggu saat ia sedang belajar, ibunya datang, hati Jagad masih bergolak menahan rasa marahnya, akan tetapi Jagad mengatakan pada ibunya itu, bahwa ia sangat menyayangi adiknya. Mendengar penuturan ini ibunya langsung merangkul Jagad dengan mencium pipinya dan mengusap-usap kepalanya.
Dari contoh ilusterasi di atas dapat kita tarik kesimpulan, bahwa berbicara benar membuat seorang anak Jagad, mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan, merasakan kesakitan, dicubit dan ditampar oleh ibunya, sedangkan dengan berbohong mengatakan yang bukan sebenarnya mendapatkan sesuatu yang menyenangkan. Pengalaman itu mengajarkan kepada anak bahwa ibu lebih menyukai kepada anaknya yang berbohong. Hal seperti inilah yang acap kali dikeluhkan oleh seorang ibu karena anak-anaknya sering berbohong. Orang tua terutama seorang ibu sering kali menyalahkan anak-anaknya yang sering kali berbohong. Padahal secara tak disadarinya, kelakuan dan sikap anak untuk berbicara bohong itu akibat dari prilaku dan tindakannya sendiri dalam menyikapi suatu kejadian di dalam keluarga berkait dengan anak-anaknya. Dan berbicara bohong dari anak-anaknya tersebut merupakan hasil dari didikkannya sendiri.
BOHONG adalah berbicara yang tidak sebenarnya dan itu dilalakukan dengan sengaja yang bertujuan untuk memperdayakan orang lain. Dengan kata lain berbohong meliputi tiga faktor;
1 ) berbicara yang tidak dengan sebenarnya,
2.) dilakukan dengan sengaja, dan
3 ) bertujuan untuk memperdayakan orang lain.


SOLUSI :
Berkait dengan masalah tersebut di atas, jika orang tua menginginkan anak-anaknya bersikap jujur, dan tidak berbohong, maka seyogyanyalah harus bersedia untuk mendengarkan suatu kebenaran baik kebenaran itu terasa manis atau pahit, baik ataupun buruk yang dinyatakan oleh seorang anak. Jangan sampai anak merasa takut untuk mengungkapkan segala isi hatinya. Seorang anak biasanya akan selalu memperhatikan reaksi orang tua terhadap ekspresi ungkapan perasaannya. Dan reaksi-reaksi orangtuanya itulah yang mengajarkan kepada anak, apakah sebaiknya dia bersikap jujur atau berbohong.  Apabila orang tua pada suatu ketika menghukum anaknya yang sudah mengatakan yang sebenarnya, jujur dan tidak berbohong, maka tentunya seorang anak akan terdorong untuk berbohong sebbagai tindakan bela diri atau pertahanan diri.’
2.        ANAK YANG SUKA BEKELAHI
Berdasarkan studi Gentile dan Bushman mengatakan, ada enam faktor yang dapat menyebabkan anak menjadi pengganggu atau bullying terhadap temannya. “Ketika semua faktor-faktor risiko dialami oleh anak-anak, risiko agresi dan perilaku intimidasi akan tinggi. 1-2 faktor risiko bukanlah masalah besar bagi anak-anak, tetapi orangtua masih membutuhkan bantuan untuk mengatasi,” kata Gentile.
1. Kecenderungan permusuhan
Dalam sebuah keluarga, sebuah hubungan dan persahabatan, permusuhan sering tidak dapat dihindari. Membuat permusuhan akan membuat anak merasa dendam dan ingin membalas.
2. Kurangnya perhatian
Keterlibatan orang tua yang rendah dan kurangnya perhatian pada anak-anak dapat menyebabkan anak-anak ingin mencari perhatian dan pujian dari orang lain. Salah satunya memuji kekuatan dan popularitas di luar rumah.
3. Gender sebagai laki-laki
Seringkali orang menganggap bahwa untuk menjadi seorang pria harus kuat selama perkelahian. Perilaku ini membuat mereka lebih mungkin agresif secara fisik.
4. Sejarah kekerasan
Biasanya, anak-anak yang mengalami kekerasan, terutama dari orang tua lebihmungkin untuk ‘balas dendam’ di luar rumah mereka.
5. Sejarah Perkelahian
Terkadang anak-anak berjuang untuk membuktikan kekuatan mereka untuk membuat seseorang kecanduan untuk terus melakukannya. Bisa jadi karena mereka senang mendapatkan pujian oleh banyak orang.
6. Paparan kekerasan dari media
Televisi, video game, dan film menyajikan banyak adegan kekerasan atau perang. Meskipun seharusnya orang tua memberikan bimbingan saat menonton atau bermain video game untuk anak-anak, pada kenyataannya banyak yang tidak melakukan hal ini. Eksposur media untuk adegan kekerasan sering membuat inspirasi bagi anak untuk mencobanya di dunia nyata.
“Anda harus menemani anak dan memberi makna pada adegan kekerasan sambil menonton film atau bermain video game perkelahian. Karena pengaruh media ini 80% dapat membuat perilaku negatif pada anak dan anak terinspirasi untuk melakukannya,” saran Gentile.

3.        ANAK YANG SUKA MENCURI
Kadang-kadang orang tua merasa terkejut dan bingung sewaktu pertama kali mengetahui anaknya mencuri.Orang tua lantas mungkin berpikir bahwa ini merupakan hal yang wajar dalam perkembangan anak.Anggapan ini tentu saja tidak benar.Jadi, sekecil apa pun pencurian yang dilakukan anak, orang tua harus melarang dan menghentikannya.
Boleh dikata hal ini kerap kali terjadi, terutama dalam keluarga yang memiliki anak berusia empat sampai tujuh tahun. Pada usia ini anak cenderung untuk mengambil apa yang bukan haknya. Sebenarnya, perbuatan mencuri yang dilakukan anak-anak balita bukanlah tingkah laku yang menyimpang. Tetapi bila orang tua tidak menanganinya dengan benar, tingkah laku yang tidak berbahaya itu dapat mengarah menjadi perbuatan yang berakibat lebih jauh.
Mencuri di kalangan anak-anak balita sering terjadi. Ini disebabkan karena mereka belum mempunyai konsep kemilikan. Anak-anak belum mempunyai batas yang tegas antara milik sendiri dan milik orang lain. Bila mereka melihat sesuatu yang disukainya, mereka akan mengam-bilnya. Bagi mereka seolah berlaku prinsip: “Aku lihat, aku suka, aku mau, aku ambil. Anak kecil belum mengerti bahwa dengan mengambil benda yang dinginkan tanpa izin si pemilik, ia melanggar hak milik teman tersebut dan akan merugikan si teman itu.  Pada umumnya, orangtua pasti akan merasa kaget, kecewa, dan malu bila mengetahui bahwa anak mereka telah mencuri sesuatu milik orang lain. Namun, janganlah orangtua bertindak tergesa-gesa, langsung marah-marah kepada anak, apalagi menghukumnya dengan cara yang berlebihan. Sebab, tidak semua anak mencuri karena niat yang sudah direncanakan.
Penyebab anak Mencuri
1.        Mencuri karena tidak mengerti.
Sebagian dari mereka ada yang mengambil barang milik orang lain karena ia belum mengerti tentang maksud dari kepemilikan suatu barang. Ia belum dapat membedakan mana barang milik sendiri dan yang mana barang milik orang lain. Biasanya tindakan ini terjadi pada anak usia 3-5 tahun. Anak di usia ini sering menganggap bahwa semua barang yang ada dihadapannya adalah miliknya sendiri.
2.        Mencuri karena kebutuhan identitas diri.
Anak mencuri karena ia memiliki kebutuhan yang khas akan identitas diri dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya yang ia idolakan. Kadangkala ada anak yang memiliki perasaan rendah diri, tetapi sangat berharap untuk dapat diterima, namun tidak ada bakat yang menonjol atau paras muka yang cakap yang dapat dijadikan alasan untuk diterima. Oleh karena itu supaya dapat diterima sebagai teman, ia lalu mencuri uang dan dengan uang curian, ia mengundang makan dan memegahkan diri di hadapan teman-temannya.
3.    Mencuri karena mencontoh yang salah.
Anak mencuri karena melihat orangtua (ibu atau ayah), saudara atau teman mengambil barang yang bukan miliknya. Dalam keluarga harus ada pendidikan moral yang benar. Sekalipun pada hal-hal yang kecil, namun bila disertai dengan ketamakan akan merangsang anak untuk mencuri, baik itu mencuri bunga, buah, alat-alat atau barang-barang milik orang lain. Tidak adanya pendidikan moral dalam keluarga akan mudah menjadikan anak-anak mempunyai kebiasaan mancuri.

4.    Mencuri karena tekanan dan adanya keinginan untuk memiliki.
Anak mencuri karena ada tekanan akan kebutuhan dan keinginannya. Anak ini mencuri karena terpaksa. Misalnya, anak ingin makanan tetapi tidak diberi uang jajan oleh orangtuanya. Akhirnya ia terpaksa mencuri uang temannya untuk membeli makanan.
Karena keinginan untuk memiliki begitu menggoda, maka anak melakukan pencurian. Keinginan ini dapat timbul karena anak sering kurang mampu menguasai diri. Ini biasa terjadi bila anak terlalu dilindungi. Anak akan lebih sering lagi mencuri bila orang tua tidak menyelidiki mengapa barang atau uang dalam rumah sering hilang, atau ibu tahu anak telah mengambil barang di toko, lalu dibayarkan secara diam-diam. Dengan demikian anak semakin terjerumus ke dalam kebiasaan yang buruk. Penyebab lain bisa karena anak lahir dari keluarga miskin. Kemiskinan telah merisaukan dirinya. Apa yang menjadi kebutuhannya tidak dapat terpenuhi, selain dengan mencuri.
5.    Ingin menonjolkan rasa kebersatuan.
Karena ingin menonjolkan rasa kebersatuan yang tinggi, seorang anak melakukan pencurian bersama-sama dalam satu kelompok. Dalam kelompok itu, mereka merasakan adanya suasana kebersamaan dan juga timbulnya rasa kebanggaan terhadap kepahlawanan seseorang sehingga mencuri dianggap sebagai terobosan untuk menikmati kebahagiaan.

6.    Mencuri karena gangguan kejiwaan (kleptomania).
Anak mencuri karena adanya gangguan kejiwaan. Ia mencuri bukan karena ’kemauannya’. Barang yang dicuri penderita kleptomania sebenarnya mampu ia beli. Namun, ketika mencuri, anak merasa terlepas dari impitan perasaan yang membelenggunya. Setelah itu perasaan bersalah kemudian menderanya.

MENGATASI MASALAH
Bagaimana membantu anak untuk mengatasi masalah kebiasaan suka mencuri ini? Diharapkan beberapa cara penyelesaian di bawah ini dapat memberikan petunjuk kepada orang tua dan guru.
1.        Mencukupi kebutuhan anak dan memberikan pengertian untuk bersabar.
Banyak anak suka mencuri karena keinginan yang dibutuhkan belum terpenuhi. Sebaiknya orang tua mengoreksi diri, apakah ada kebutuhan anak yang belum dicukupi..?? Kelalaian itu bisa terjadi dalam bentuk : tidak memberi makanan yang bergizi, atau tidak menyediakan alat tulis yang dibutuhkan, atau keperluan sehari- hari lainnya. Semuanya itu akan membuat anak tergoda untuk melakukan pencurian.
Memberikan pengertian pada anak (disesuaikan dengan usia anak) agar bersabar apabila keinginan yang diharapkan anak belum bisa dikabulkan, dalam hal ini diperlukan komunikasi yang terbuka, baik & penuh kasih sayang antara orang tua dan anak, agar anak juga bisa memahami mengapa keinginannya belum atau tidak bisa dikabulkan.
2.        Memberi perhatian yang cukup.
Ada pencurian karena adanya ketidakstabilan dalam jiwa anak. Orang tua yang sibuk hanya tahu mencukupi kebutuhan anak secara materi, tetapi melalaikan kebutuhan rohaninya. Bila anak itu sehat, puas dan stabil jwanya, tidak mungkin ia mencuri untuk mencari perhatian orang dewasa
3.        Mengenali pergaulan anak.
Ketika diketahui anak mulai suka mencuri, segera selidiki lebih dahulu tentang teman-temannya. Apakah ia bergaul dengan teman- teman yang berperangai buruk, yang menganggap mencuri itu satu keberanian atau mereka diancam untuk mencuri. Jika benar teman- teman itu yang bermasalah, maka dengan sabar orang tua harus mengajar anak dan menjelaskan akibat buruk dari mencuri itu.
4.        Menyelidiki motivasinya.
Selain unsur di atas, mungkin masih ada motivasi yang tersembunyi yang mendorong anak itu mencuri. Cobalah untuk mengetahui kehidupan sosial anak itu, mungkin mereka senang bermain dengan teman2 sebaya yang diantaranya ada yang suka mencuri, sedang berpacaran atau sedang terjerumus pada obat-obat terlarang seperti: ganja atau minuman keras. Bila orang tua dengan teliti menyelidiki motivasi anak mencuri, maka akan lebih mudah mengatasi masalahnya.
5.      Memasukkan konsep nilai yang benar.
Sejak kecil orang tua sudah harus mendidik perbedaan antara "ini milik kamu" dan "ini milik saya". Jangan membiarkan anak sembarangan mengambil barang orang lain. Kalau dalam tas atau di saku ditemukan barang milik teman, anak harus segera mengembalikannya. Menerapkan konsep yang benar harus disertai dengan teladan yang baik supaya anak tidak tamak terhadap hal apa pun sekalipun itu hal yang kecil atau sembarangan meminjam barang milik orang lain. Berikanlah penghargaan dan pujian bila mereka mampu mengurus atau mengatur barangnya sendiri.
6.      Melakukan usaha secara bersama
.Jika anak sendiri tidak berniat untuk membuang kebiasaan yang jelek, meskipun orang tua atau guru memaksa atau menekan mereka, hasilnya tetap akan sia-sia. Usahakanlah untuk bekerja sama dengan anak, menasihati dan menjelaskan sebab-akibat dari tindak mencuri, atau membantu mereka untuk mencari jalan ke luar yang bisa dilakukan, kemudian berdoalah bersama mereka agar bersandar pada anugerah Tuhan untuk hidup dalam kebenaran.
7.      Mendidiknya dalam kebenaran.
Bimbinglah anak dengan ajaran Agama, tingkatkan keimanan dengan mengajak anak melakukan kegiatan ibadah bersama keluarga dan berilah pengertian dengan penuh kasih sayang. Setelah dibimbing, anak mungkin masih dapat lupa dan jatuh lagi, tetapi dengan seringnya diingatkan serta diawasi dan didoakan, pasti ada pengharapan bahwa Tuhan akan mengubah mereka menjadi lebih baik sehingga buah kebenaran dihasilkan melalui dan di dalam hidup mereka.

4.        ANAK YANG NAKAL
Penyebab :
Dari sekian banyak karunia di dunia adalah memiliki anak. Seperti koin yang memilki dua sisi, anak selain sebagai karunia bisa jadi ujian bagi kedua orang tuanya. Menarik ketika membicarakan pendidikan psikologis anak. Ada empat faktor yang menjadi penyebab mengapa anak-anak menjadi nakal (baca: kreatif)
1.         Kreatif
Usia anak-anak apalagi saat TK dan SD menjadi masa paling aktif secara motorik bagi anak-anak. Kenakalan anak-anak seperti berbuat kegaduhan, membuat hal-hal aneh merupakan kreativitas mereka sebagai anak di usia produktif. Jangan hambat mereka, namun arahkan ke hal yang menarik dan tidak membahayakan.
2.         Caper (Cari Perhatian)
Ayah lagi asyik maen laptop, si kecil malah naek ke atas meja. Bunda lagi masak, si kecil malah maen perang-perangan pake timun sambil dilempar-lempar. Yess, mereka cari-cari perhatian. Rumusnya, jaga terus hubungan batin anak-orang tua. Jangan lupa terus katakan, ayah/bunda sayang kamu, Nak.
3.      Ujian
Kenakalan anak mulai terasa merepotkan tatkala mereka remaja. Anak mulai bergaul dengan anak-anak tongkrongan. Mulai merokok, tatkala dinasehati hanya masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Tidak jarang mereka membantah orangtuanya. Padahal, kedua orangtuanya rajin ibadah, soleh, perhatian dan telah memberikan yang terbaik. Ini adalah ujian, seperti rekam jejak yang terjadi pada Nabi Nuh yang memiliki anak pembangkang.
4.         Uang Haram/Syubhat
Ini dia satu hal yang sensitif. Butuh kejujuran terdalam dari semua orang tua di dunia ini. Adakah uang haram/syubhat yang masuk ke dalam perut anak-anaknya? Jika iya, tidak heran jika buah hatinya berkelakuan nakal.

Solusi :
Pertama, teguran dan nasihat yang baik
Ini termasuk metode pendidikan yang sangat baik dan bermanfaat untuk meluruskan kesalahan anak. Metode ini sering dipraktikkan langsung oleh pendidik terbesar bagi umat ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang anak kecil yang ketika sedang makan menjulurkan tangannya ke berbagai sisi nampan makanan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (sebelum makan), dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah (makanan) yang ada di hadapanmu.
Serta dalam hadits yang terkenal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada anak paman beliau, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Wahai anak kecil, sesungguhnya aku ingin mengajarkan beberapa kalimat (nasihat) kepadamu: jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu.”
Kedua, menggantung tongkat atau alat pemukul lainnya di dinding rumah
Ini bertujuan untuk mendidik anak-anak agar mereka takut melakukan hal-hal yang tercela.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Gantungkanlah cambuk (alat pemukul) di tempat yang terlihat oleh penghuni rumah, karena itu merupakan pendidikan bagi mereka.”
Bukanlah maksud hadits ini agar orangtua sering memukul anggota keluarganya, tapi maksudnya adalah sekadar membuat anggota keluarga takut terhadap ancaman tersebut, sehingga mereka meninggalkan perbuatan buruk dan tercela.
Imam Ibnul Anbari berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan dengan perintah untuk menggantungkan cambuk (alat pemukul) untuk memukul, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan hal itu kepada seorang pun. Akan tetapi, yang beliau maksud adalah agar hal itu menjadi pendidikan bagi mereka.”
Masih banyak cara pendidikan bagi anak yang dicontohkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu menyebutkan beberapa di antaranya, seperti: menampakkan muka masam untuk menunjukkan ketidaksukaan, mencela atau menegur dengan suara keras, berpaling atau tidak menegur dalam jangka waktu tertentu, memberi hukuman ringan yang tidak melanggar syariat, dan lain-lain.