MASALAH PSIKOLOGI ANAK
1.
ANAK SUKA BERBOHONG
Kemunugkinan
besar anak berbohong disebabkan oleh karena ORANG TUA acap kali melarang anak
untuk mengatakan atau menceritakan sesuatu peristiwa atau kejadian yang benar.
Sebagai ilusterasi, "Jagad secara terus terang mengatakan kepada ibunya
bahwa ia sangat membenci adiknya yang bernama Jayeng dan pernah mencubit
adiknya itu sampai menangis meraung-raung." Mendengar pernyataan ini
Ibunya langsung mencubit paha Jagad bahkan menampar pihinya hingga memar memerah.
Suatu ketika
Jagad marah lagi pada adiknya karena mengganggu saat ia sedang belajar, ibunya
datang, hati Jagad masih bergolak menahan rasa marahnya, akan tetapi Jagad
mengatakan pada ibunya itu, bahwa ia sangat menyayangi adiknya. Mendengar
penuturan ini ibunya langsung merangkul Jagad dengan mencium pipinya dan
mengusap-usap kepalanya.
Dari contoh ilusterasi di atas dapat
kita tarik kesimpulan, bahwa berbicara benar membuat seorang anak Jagad,
mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan, merasakan kesakitan, dicubit dan
ditampar oleh ibunya, sedangkan dengan berbohong mengatakan yang bukan
sebenarnya mendapatkan sesuatu yang menyenangkan. Pengalaman itu mengajarkan
kepada anak bahwa ibu lebih menyukai kepada anaknya yang berbohong. Hal seperti
inilah yang acap kali dikeluhkan oleh seorang ibu karena anak-anaknya sering
berbohong. Orang tua terutama seorang ibu sering kali menyalahkan anak-anaknya
yang sering kali berbohong. Padahal secara tak disadarinya, kelakuan dan sikap
anak untuk berbicara bohong itu akibat dari prilaku dan tindakannya sendiri
dalam menyikapi suatu kejadian di dalam keluarga berkait dengan anak-anaknya.
Dan berbicara bohong dari anak-anaknya tersebut merupakan hasil dari
didikkannya sendiri.
BOHONG adalah berbicara yang tidak
sebenarnya dan itu dilalakukan dengan sengaja yang bertujuan untuk
memperdayakan orang lain. Dengan kata lain berbohong meliputi tiga faktor;
1 ) berbicara yang tidak dengan
sebenarnya,
2.) dilakukan dengan sengaja, dan
3 ) bertujuan untuk memperdayakan
orang lain.
SOLUSI :
Berkait dengan masalah
tersebut di atas, jika orang tua menginginkan anak-anaknya bersikap jujur, dan
tidak berbohong, maka seyogyanyalah harus bersedia untuk mendengarkan suatu
kebenaran baik kebenaran itu terasa manis atau pahit, baik ataupun buruk yang
dinyatakan oleh seorang anak. Jangan sampai anak merasa takut untuk
mengungkapkan segala isi hatinya. Seorang anak biasanya akan selalu
memperhatikan reaksi orang tua terhadap ekspresi ungkapan perasaannya. Dan
reaksi-reaksi orangtuanya itulah yang mengajarkan kepada anak, apakah sebaiknya
dia bersikap jujur atau berbohong.
Apabila orang tua pada suatu ketika menghukum anaknya yang sudah
mengatakan yang sebenarnya, jujur dan tidak berbohong, maka tentunya seorang
anak akan terdorong untuk berbohong sebbagai tindakan bela diri atau pertahanan
diri.’
2.
ANAK YANG SUKA BEKELAHI
Berdasarkan
studi Gentile dan Bushman mengatakan, ada enam faktor yang dapat menyebabkan
anak menjadi pengganggu atau bullying terhadap temannya. “Ketika semua
faktor-faktor risiko dialami oleh anak-anak, risiko agresi dan perilaku
intimidasi akan tinggi. 1-2 faktor risiko bukanlah masalah besar bagi
anak-anak, tetapi orangtua masih membutuhkan bantuan untuk mengatasi,” kata
Gentile.
1. Kecenderungan permusuhan
Dalam sebuah keluarga, sebuah
hubungan dan persahabatan, permusuhan sering tidak dapat dihindari. Membuat
permusuhan akan membuat anak merasa dendam dan ingin membalas.
2. Kurangnya perhatian
Keterlibatan orang tua yang rendah
dan kurangnya perhatian pada anak-anak dapat menyebabkan anak-anak ingin
mencari perhatian dan pujian dari orang lain. Salah satunya memuji kekuatan dan
popularitas di luar rumah.
3. Gender sebagai laki-laki
Seringkali orang menganggap bahwa
untuk menjadi seorang pria harus kuat selama perkelahian. Perilaku ini membuat
mereka lebih mungkin agresif secara fisik.
4. Sejarah kekerasan
Biasanya, anak-anak yang mengalami
kekerasan, terutama dari orang tua lebihmungkin untuk ‘balas dendam’ di luar
rumah mereka.
5. Sejarah Perkelahian
Terkadang anak-anak berjuang untuk
membuktikan kekuatan mereka untuk membuat seseorang kecanduan untuk terus
melakukannya. Bisa jadi karena mereka senang mendapatkan pujian oleh banyak
orang.
6. Paparan kekerasan dari media
Televisi, video game, dan film
menyajikan banyak adegan kekerasan atau perang. Meskipun seharusnya orang tua
memberikan bimbingan saat menonton atau bermain video game untuk anak-anak,
pada kenyataannya banyak yang tidak melakukan hal ini. Eksposur media untuk
adegan kekerasan sering membuat inspirasi bagi anak untuk mencobanya di dunia
nyata.
“Anda harus menemani anak dan memberi
makna pada adegan kekerasan sambil menonton film atau bermain video game
perkelahian. Karena pengaruh media ini 80% dapat membuat perilaku negatif pada
anak dan anak terinspirasi untuk melakukannya,” saran Gentile.
3.
ANAK YANG SUKA MENCURI
Kadang-kadang orang tua
merasa terkejut dan bingung sewaktu pertama kali mengetahui anaknya
mencuri.Orang tua lantas mungkin berpikir bahwa ini merupakan hal yang wajar
dalam perkembangan anak.Anggapan ini tentu saja tidak benar.Jadi, sekecil apa
pun pencurian yang dilakukan anak, orang tua harus melarang dan
menghentikannya.
Boleh dikata hal ini kerap kali terjadi, terutama dalam
keluarga yang memiliki anak berusia empat sampai tujuh tahun. Pada usia ini
anak cenderung untuk mengambil apa yang bukan haknya. Sebenarnya, perbuatan
mencuri yang dilakukan anak-anak balita bukanlah tingkah laku yang menyimpang.
Tetapi bila orang tua tidak menanganinya dengan benar, tingkah laku yang tidak
berbahaya itu dapat mengarah menjadi perbuatan yang berakibat lebih jauh.
Mencuri di kalangan anak-anak balita sering terjadi. Ini
disebabkan karena mereka belum mempunyai konsep kemilikan. Anak-anak belum
mempunyai batas yang tegas antara milik sendiri dan milik orang lain. Bila
mereka melihat sesuatu yang disukainya, mereka akan mengam-bilnya. Bagi mereka
seolah berlaku prinsip: “Aku lihat, aku suka, aku mau, aku ambil. Anak kecil
belum mengerti bahwa dengan mengambil benda yang dinginkan tanpa izin si
pemilik, ia melanggar hak milik teman tersebut dan akan merugikan si teman itu.
Pada umumnya, orangtua pasti akan merasa
kaget, kecewa, dan malu bila mengetahui bahwa anak mereka telah mencuri sesuatu
milik orang lain. Namun, janganlah orangtua bertindak tergesa-gesa, langsung
marah-marah kepada anak, apalagi menghukumnya dengan cara yang berlebihan.
Sebab, tidak semua anak mencuri karena niat yang sudah direncanakan.
Penyebab anak Mencuri
1.
Mencuri
karena tidak mengerti.
Sebagian dari mereka ada yang
mengambil barang milik orang lain karena ia belum mengerti tentang maksud dari
kepemilikan suatu barang. Ia belum dapat membedakan mana barang milik sendiri
dan yang mana barang milik orang lain. Biasanya tindakan ini terjadi pada anak
usia 3-5 tahun. Anak di usia ini sering menganggap bahwa semua barang yang ada
dihadapannya adalah miliknya sendiri.
2.
Mencuri
karena kebutuhan identitas diri.
Anak mencuri karena ia memiliki
kebutuhan yang khas akan identitas diri dengan orang-orang yang ada di
sekelilingnya yang ia idolakan. Kadangkala ada anak yang memiliki perasaan
rendah diri, tetapi sangat berharap untuk dapat diterima, namun tidak ada bakat
yang menonjol atau paras muka yang cakap yang dapat dijadikan alasan untuk
diterima. Oleh karena itu supaya dapat diterima sebagai teman, ia lalu mencuri
uang dan dengan uang curian, ia mengundang makan dan memegahkan diri di hadapan
teman-temannya.
3. Mencuri karena mencontoh yang salah.
Anak mencuri karena melihat orangtua
(ibu atau ayah), saudara atau teman mengambil barang yang bukan miliknya. Dalam
keluarga harus ada pendidikan moral yang benar. Sekalipun pada hal-hal yang
kecil, namun bila disertai dengan ketamakan akan merangsang anak untuk mencuri,
baik itu mencuri bunga, buah, alat-alat atau barang-barang milik orang lain.
Tidak adanya pendidikan moral dalam keluarga akan mudah menjadikan anak-anak
mempunyai kebiasaan mancuri.
4. Mencuri karena tekanan dan adanya
keinginan untuk memiliki.
Anak mencuri karena ada tekanan akan
kebutuhan dan keinginannya. Anak ini mencuri karena terpaksa. Misalnya, anak
ingin makanan tetapi tidak diberi uang jajan oleh orangtuanya. Akhirnya ia
terpaksa mencuri uang temannya untuk membeli makanan.
Karena keinginan untuk memiliki begitu menggoda, maka
anak melakukan pencurian. Keinginan ini dapat timbul karena anak sering kurang
mampu menguasai diri. Ini biasa terjadi bila anak terlalu dilindungi. Anak akan
lebih sering lagi mencuri bila orang tua tidak menyelidiki mengapa barang atau
uang dalam rumah sering hilang, atau ibu tahu anak telah mengambil barang di
toko, lalu dibayarkan secara diam-diam. Dengan demikian anak semakin terjerumus
ke dalam kebiasaan yang buruk. Penyebab lain bisa karena anak lahir dari
keluarga miskin. Kemiskinan telah merisaukan dirinya. Apa yang menjadi
kebutuhannya tidak dapat terpenuhi, selain dengan mencuri.
5. Ingin menonjolkan rasa kebersatuan.
Karena ingin menonjolkan rasa
kebersatuan yang tinggi, seorang anak melakukan pencurian bersama-sama dalam
satu kelompok. Dalam kelompok itu, mereka merasakan adanya suasana kebersamaan
dan juga timbulnya rasa kebanggaan terhadap kepahlawanan seseorang sehingga
mencuri dianggap sebagai terobosan untuk menikmati kebahagiaan.
6. Mencuri karena gangguan kejiwaan
(kleptomania).
Anak mencuri karena adanya gangguan
kejiwaan. Ia mencuri bukan karena ’kemauannya’. Barang yang dicuri penderita
kleptomania sebenarnya mampu ia beli. Namun, ketika mencuri, anak merasa
terlepas dari impitan perasaan yang membelenggunya. Setelah itu perasaan
bersalah kemudian menderanya.
MENGATASI MASALAH
Bagaimana membantu anak untuk
mengatasi masalah kebiasaan suka mencuri ini? Diharapkan beberapa cara
penyelesaian di bawah ini dapat memberikan petunjuk kepada orang tua dan guru.
1.
Mencukupi
kebutuhan anak dan memberikan pengertian untuk bersabar.
Banyak anak suka mencuri karena keinginan yang dibutuhkan belum terpenuhi.
Sebaiknya orang tua mengoreksi diri, apakah ada kebutuhan anak yang belum
dicukupi..?? Kelalaian itu bisa terjadi dalam bentuk : tidak memberi makanan
yang bergizi, atau tidak menyediakan alat tulis yang dibutuhkan, atau keperluan
sehari- hari lainnya. Semuanya itu akan membuat anak tergoda untuk melakukan
pencurian.
Memberikan pengertian pada anak
(disesuaikan dengan usia anak) agar bersabar apabila keinginan yang diharapkan
anak belum bisa dikabulkan, dalam hal ini diperlukan komunikasi yang terbuka,
baik & penuh kasih sayang antara orang tua dan anak, agar anak juga bisa
memahami mengapa keinginannya belum atau tidak bisa dikabulkan.
2.
Memberi
perhatian yang cukup.
Ada pencurian karena adanya
ketidakstabilan dalam jiwa anak. Orang tua yang sibuk hanya tahu mencukupi
kebutuhan anak secara materi, tetapi melalaikan kebutuhan rohaninya. Bila anak
itu sehat, puas dan stabil jwanya, tidak mungkin ia mencuri untuk mencari
perhatian orang dewasa
3.
Mengenali
pergaulan anak.
Ketika diketahui anak mulai suka
mencuri, segera selidiki lebih dahulu tentang teman-temannya. Apakah ia bergaul
dengan teman- teman yang berperangai buruk, yang menganggap mencuri itu satu
keberanian atau mereka diancam untuk mencuri. Jika benar teman- teman itu yang
bermasalah, maka dengan sabar orang tua harus mengajar anak dan menjelaskan
akibat buruk dari mencuri itu.
4.
Menyelidiki
motivasinya.
Selain unsur di atas, mungkin masih
ada motivasi yang tersembunyi yang mendorong anak itu mencuri. Cobalah untuk
mengetahui kehidupan sosial anak itu, mungkin mereka senang bermain dengan
teman2 sebaya yang diantaranya ada yang suka mencuri, sedang berpacaran atau
sedang terjerumus pada obat-obat terlarang seperti: ganja atau minuman keras.
Bila orang tua dengan teliti menyelidiki motivasi anak mencuri, maka akan lebih
mudah mengatasi masalahnya.
5.
Memasukkan
konsep nilai yang benar.
Sejak kecil orang tua sudah harus mendidik perbedaan antara "ini
milik kamu" dan "ini milik saya". Jangan membiarkan anak
sembarangan mengambil barang orang lain. Kalau dalam tas atau di saku ditemukan
barang milik teman, anak harus segera mengembalikannya. Menerapkan konsep yang
benar harus disertai dengan teladan yang baik supaya anak tidak tamak terhadap
hal apa pun sekalipun itu hal yang kecil atau sembarangan meminjam barang milik
orang lain. Berikanlah penghargaan dan pujian bila mereka mampu mengurus atau
mengatur barangnya sendiri.
6.
Melakukan
usaha secara bersama
.Jika anak sendiri tidak berniat
untuk membuang kebiasaan yang jelek, meskipun orang tua atau guru memaksa atau
menekan mereka, hasilnya tetap akan sia-sia. Usahakanlah untuk bekerja sama
dengan anak, menasihati dan menjelaskan sebab-akibat dari tindak mencuri, atau
membantu mereka untuk mencari jalan ke luar yang bisa dilakukan, kemudian
berdoalah bersama mereka agar bersandar pada anugerah Tuhan untuk hidup dalam
kebenaran.
7.
Mendidiknya
dalam kebenaran.
Bimbinglah anak dengan ajaran Agama,
tingkatkan keimanan dengan mengajak anak melakukan kegiatan ibadah bersama
keluarga dan berilah pengertian dengan penuh kasih sayang. Setelah dibimbing,
anak mungkin masih dapat lupa dan jatuh lagi, tetapi dengan seringnya
diingatkan serta diawasi dan didoakan, pasti ada pengharapan bahwa Tuhan akan
mengubah mereka menjadi lebih baik sehingga buah kebenaran dihasilkan melalui
dan di dalam hidup mereka.
4.
ANAK YANG NAKAL
Penyebab :
Dari sekian banyak karunia di dunia adalah memiliki anak. Seperti koin
yang memilki dua sisi, anak selain sebagai karunia bisa jadi ujian bagi kedua
orang tuanya. Menarik ketika membicarakan pendidikan psikologis anak. Ada empat
faktor yang menjadi penyebab mengapa anak-anak menjadi nakal (baca: kreatif)
1.
Kreatif
Usia anak-anak apalagi saat TK dan SD menjadi masa paling aktif secara motorik
bagi anak-anak. Kenakalan anak-anak seperti berbuat kegaduhan, membuat hal-hal
aneh merupakan kreativitas mereka sebagai anak di usia produktif. Jangan hambat
mereka, namun arahkan ke hal yang menarik dan tidak membahayakan.
2.
Caper
(Cari Perhatian)
Ayah lagi asyik maen laptop, si kecil malah naek ke atas meja. Bunda lagi
masak, si kecil malah maen perang-perangan pake timun sambil dilempar-lempar.
Yess, mereka cari-cari perhatian. Rumusnya, jaga terus hubungan batin
anak-orang tua. Jangan lupa terus katakan, ayah/bunda sayang kamu, Nak.
3.
Ujian
Kenakalan anak mulai terasa merepotkan tatkala mereka remaja. Anak mulai
bergaul dengan anak-anak tongkrongan. Mulai merokok, tatkala dinasehati hanya
masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Tidak jarang mereka membantah
orangtuanya. Padahal, kedua orangtuanya rajin ibadah, soleh, perhatian dan
telah memberikan yang terbaik. Ini adalah ujian, seperti rekam jejak yang
terjadi pada Nabi Nuh yang memiliki anak pembangkang.
4.
Uang
Haram/Syubhat
Ini dia satu hal yang sensitif. Butuh kejujuran terdalam dari semua orang
tua di dunia ini. Adakah uang haram/syubhat yang masuk ke dalam perut
anak-anaknya? Jika iya, tidak heran jika buah hatinya berkelakuan nakal.
Solusi :
Pertama, teguran dan nasihat yang
baik
Ini termasuk metode
pendidikan yang sangat baik dan bermanfaat untuk meluruskan kesalahan anak.
Metode ini sering dipraktikkan langsung oleh pendidik terbesar bagi umat ini,
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya ketika beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam melihat seorang anak kecil yang ketika sedang makan
menjulurkan tangannya ke berbagai sisi nampan makanan, maka beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah
(sebelum makan), dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah (makanan)
yang ada di hadapanmu.“
Serta dalam
hadits yang terkenal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda kepada anak paman beliau, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma,
“Wahai anak kecil, sesungguhnya aku ingin mengajarkan beberapa kalimat
(nasihat) kepadamu: jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka Dia akan
menjagamu, jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka kamu akan
mendapati-Nya dihadapanmu.”
Kedua, menggantung tongkat atau alat
pemukul lainnya di dinding rumah
Ini bertujuan untuk mendidik
anak-anak agar mereka takut melakukan hal-hal yang tercela.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menganjurkan ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Gantungkanlah cambuk (alat pemukul) di tempat yang terlihat
oleh penghuni rumah, karena itu merupakan pendidikan bagi mereka.”
Bukanlah
maksud hadits ini agar orangtua sering memukul anggota keluarganya, tapi
maksudnya adalah sekadar membuat anggota keluarga takut terhadap ancaman
tersebut, sehingga mereka meninggalkan perbuatan buruk dan tercela.
Imam Ibnul
Anbari berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
memaksudkan dengan perintah untuk menggantungkan cambuk (alat pemukul) untuk
memukul, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
memerintahkan hal itu kepada seorang pun. Akan tetapi, yang beliau maksud
adalah agar hal itu menjadi pendidikan bagi mereka.”
Masih banyak cara
pendidikan bagi anak yang dicontohkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu menyebutkan beberapa di
antaranya, seperti: menampakkan muka masam untuk menunjukkan ketidaksukaan,
mencela atau menegur dengan suara keras, berpaling atau tidak menegur dalam
jangka waktu tertentu, memberi hukuman ringan yang tidak melanggar syariat, dan
lain-lain.