MASALAH-MASALAH
PSIKOLOGI ANAK YANG
BERHUBUNGAN
DENGAN ETIKA DAN MORAL
1. Anak Yang suka Mencuri
Analisis
Hipotesis
Ada 4 hal yang menyebabkan anak mencuri adalah
sbb:
a.
Anak mencuri karena dia adalah anak
yang impulsif. Impulsif berarti seseorang yang mempunyai dorongan yang kuat
untuk mempunyai sesuatu, dan waktu dia menginginkan sesuatu dia harus
mendapatkannya dengan seketika.
b.
Anak yang membutuhkan perhatian,
karena hidup di lingkungan yang kurang sekali perhatian, dia sangat butuh
aktifitas. Waktu dia membutuhkan aktifitas, yang dilakukan ialah mencuri,
dengan dia mencuri dia bisa membeli barang yang ia inginkan sebab di rumah atau
di sekolah kemungkinan besar dia tidak mendapatkan perhatian, jadi anaknya
menyendiri.
c.
Tipe anak yang egosentrik, anak-anak
yang sangat egois di mana keinginannya tidak boleh dibendung, yang dia inginkan
harus dia dapatkan, dia tidak mengenal batas milik, bahwa ini milik orang lain,
ini milik saya sebab orang pun harus tunduk pada keinginannya.
d.
Tipe keempat adalah anak yang
bermasalah. Atau yang lebih sering disebut kleptomania yaitu anak-anak yang
sebetulnya kompulsif anak-anak yang mempunyai problem perilaku, di mana dia
harus mencuri meskipun dia tidak membutuhkan barang yang dia inginkan tapi dia
mengambilnya, karena itu suatu perilaku yang harus dia lakukan.
Situasi-situasi yang mendukung anak melakukan
tindakan mencuri, yaitu:
a.
Situasi yang sangat kurang pengawasan
terhadap benda-benda berharga di dalam rumah kita.
b.
Sangat kurangnya penanaman hati nurani
pada diri anak, sehingga anak-anak itu tidak tahu lagi benar salah. Tidak
pernah diajarkan mana yang baik mana yang kurang baik, sehingga akhirnya
mencuri bukan sesuatu yang salah baginya.
c.
Kurangnya pengawasan terhadap anak
sehingga anak-anak bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya.
d.
Situasi ekonomi yang lemah dalam
pengertian sangat susah, bisa juga yang sedang tapi kebetulan tinggal di
lingkungan yang melampaui kemampuan ekonominya. Jadi teman-temannya memakai
baju yang bagus, cincin yang bagus atau apa, akhirnya dia juga tergoda untuk
memilikinya.
e.
Situasi budaya, budaya yang
membolehkan pencurian. Yaitu sistem kehidupan/ cara hidup di
lingkungan-lingkungan tertentu yang seolah-olah memberikan toleransi orang
mencuri atau mengambil barang orang lain.
Biasanya ini dilakukan kepada orang-orang yang
lebih berada, dan dilakukan selama itu tidak terlalu merugikan pemiliknya. Atau
juga dengan merasionalisasi bahwa seharusnya orang membagikan hartanya dengan
dia yang tak punya. Contoh : tokoh Robin Hood, Jessie James (mencuri tapi
membagikan kepada orang-orang miskin).
Mencuri pada dasarnya mempunyai sistem imbalan
yang tersendiri, yaitu:
a.
Imbalan pertama secara psikologis,
emosional. Adanya kepuasan karena kita bisa melakukan sesuatu yang tidak
dilakukan oleh orang lain, kita sedikit lebih berani untuk melakukan hal yang
menegangkan.
b.
Selain imbalan dalam mencuri kita bisa
memiliki yang dimiliki orang lain, nah ini juga menimbulkan satu kepuasan.
c.
Kita bisa menikmati hasil curian itu,
dengan uang yang kita miliki kita bisa beli barang-barang yang kita inginkan.
Nah
akhirnya ketiga unsur ini menjadi suatu sistem imbalan dalam mencuri, ini yang
membuat akhirnya orang atau anak-anak kecil terus mencuri.
Solusi
:
Yang
perlu kita lakukan sebagai orang tua dan Guru terhadap anak yang mencuri:
Melakukan sistem sanksi, salah satu sistem yang bisa diterapkan adalah
bukan saja dia harus mengembalikan, tetapi dia harus juga mengembalikan
ditambah dengan sanksinya atau hukumannya, ini yang Alkitab katakan.
2. Anak Yang suka Tawuran
Analisis Hipotesis
1. Perkelahian,
atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar. Bahkan
bukan “hanya” antar pelajar, tapi juga sudah melanda sampai ke kampus-kampus.
Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja. Terlihat
dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Tawuran
yang selalu terjadi apabila dapat dikatakan hampir setiap bulan minggu bahkan
mungkin hari selalu terjadi perkelahian antar pelajar yang kadang-kadang
berujung dengan hilangnya satu nyawa pelajar secara sia-sia. Pelajar yang
seharusnya menimba ilmu di sekolah untuk masa depan yang lebih baik menjadi
penerus bangsa malah berkeliaran diluar.
2. Tawuran
pelajar yang terjadi bertubi-tubi, khususnya di Jakarta, telah mencapai taraf
yang memprihatinkan. Serempak, baik masyarakat maupun pemerintah, mengecap
anak-anak ini sebagai pelaku kriminal, penjahat yang perlu dihukum
seberat-beratnya. Semua orang pasti mempertanyakan “Pernahkah kita
berfikir, mengapa anak-anak tega membunuh temannya sendiri? Apakah tidak ada
andil dari pihak lain yang menyebabkan anak tega melakukan tindakan seperti
ini?”. dan menurut saya yang harusnya patut dipertanyakan tentang tanggung
jawab itu yaitu ke pihak keluarga mereka masing. Salah satu faktor penyebab terjadinya
tawuran antarpelajar ialah ketidakmampuan orangtua dalam menjalankan kewajiban
dan tanggung jawabnya dalam melindungi anak. Padahal, dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak (UUPA) Pasal 26 Ayat 1 telah ditegaskan bahwa orangtua
berkewajiban dan bertanggung jawab dalam melindungi anak, baik dalam hal
mengasuh, memelihara, mendidik, melindungi, maupun mengembangkan bakat anak.
Karena agak tidak tepat sasaran kalau kita menyalahkan pihak sekolah atas
terjadinya tawuran. Karena mungkin pihak sekolah bukannya seperti menutup mata
atas apa yang terjadi pada anak didiknya tapi itu semua karena terbatasnya
kewajiban mereka sebagai pendidik, yang secara tidak langsung dapat dikatakan
pihak sekolah tidak dapat selalu memantau apa yang terjadi diluar sekolah karena
banyaknya anak-anak yang harus mereka pantau.
3. Dalam
pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan
di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat)
dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila
dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja
terlibat perkelahian pelajar.
1.
Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian
biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks.
Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat
ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan
banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada
remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi
memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah
putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain
pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk
memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka
mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka
terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat.
Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
2.
Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan
(entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak,
ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya,
sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya,
orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai
individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang
unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara
total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3.
Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang
sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah
terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu,
lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya
suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran,
tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang
melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu
masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting.
Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta
sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau
dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.
4.
Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan
sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya
perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota
lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana
transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota
(bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk
belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang
berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
Solusi Permasalahan :
Berikut ini saya akan memaparkan beberapa solusi
alternative yang mungkin akan dapat berguana untuk mengurangi tawauran antar
pelajar ini:
- Para Siswa wajib diajarkan dan memahami
bahwa semua permasalahan tidak akan selesai jika penyelesaiannya dengan
menggunakan kekerasan.
- Lakukan
komunikasi dan pendekatan secara khusus kepada para pelajar untuk
mengajarkan cinta kasih.
- Pengajaran
ilmu beladiri yang mempunyai prinsip penggunaan untuk menyelamatkan orang
dan bukan untuk menyakiti orang lain.
- Ajarkan ilmu
sosial Budaya, ilmu sosial budaya sangat bermanfaat untuk pelajar
khususnya, yaitu agar tidak salah menempatkan diri di lingkungan
masyarakat.
- Bagi para
orang tua, mulailah belajar jadi sahabat anak-anaknya. Jangan jadi polisi,
hakim atau orang asing dimata anak. Hal ini sangat penting untuk memasuki
dunia mereka dan mengetahui apa yang sedang mereka pikirkan atau rasakan.
Jadi kalau ada masalah dalam kehidupan mereka orang tua bisa segera ikut
menyelesaikan dengan bijak dan dewasa.
- Bagi para
Polisi dan aparat keamanan, jangan segan dan aneh untuk dekat dengan para
pelajar secara profesional, khususnya yang bermasalah-bermasalah itu.
Lebih baik tidak menggunakan acara-acara formal dalam pendekatan ini,
melainkan masuk dengan cara santai dan rileks. Upama ketika para pelajar
ini cangkrukkan atau kumpul-kumpul, ikutlah kumpul dengan mereka secara
kekeluargaan dan gaul, sehingga mereka akan merasa ada kepedulian dari
negara atas masalah mereka. Aparat Polisi dan keamanan yang gaul dan bisa
mereka terima akan menjadi kode bahwa negara memperhatikan generasi ‘lupa
diri’ ini untuk kembali menjadi ingat bahwa tak ada alasan yang cukup kuat
bagi mereka menggelar tawuran.
- Pada awal
masuk sekolah, sebagian pelajar yang tawuran ini sebenarnya jarang yang
saling kenal. Jika kemudian mereka menjadi beringas dengan orang yang sama
sekali sebelumnya tak dikenal, karena ada kata-kata, dendam, slogan,
pemikiran, hasutan dan sejenisnya yang masuk kepada mereka dari senior
atau orang luar tentang kejelekan sesama pelajar yang akhirnya jadi musuh.
Inilah bahaya mulut, otak dan hati yang harus dibersihkan kemudian
diluruskan. Tak mungkin clurit berbicara jika ketiga unsur tadi tidak
rusak sebelumnya. Razia terhadap benda-benda tajam itu mungkin efektif
dalam masa pendek, namun untuk jangka panjang perlu dirumuskan bagaimana
melakukan brainwash kepada para pelajar ini agar kembali ke jalan yang
benar.
- Buat sekolah
khusus dalam lingkungan penuh disiplin dan ketertiban bagi mereka yang
terlibat tawuran. Ini adalah cara memutus tali dendam dan masalah dalam
dunia pelajar kita. Jadi siapapun dan dari sekolah manapun yang terlibat
tawuran, segera tangkap dan masukkan dalam sekolah khusus yang memiliki
kurikulum khusus bagi mereka. Dengan jalan tersebut, setidaknya teman atau
adik kelas mereka tak akan lagi terpengaruh oleh ide-ide gila anak-anak
yang suka tawuran ini. Tentu semua hal tersebut harus didukung penuh oleh
pemerintah dan semua pihak karena biaya dan tenaga yang dibutuhkan awalnya
akan sangat besar. Tapi apalah artinya semua itu jika akhirnya kita akan menemukan
kedamaian dalam dunia pendidikan kita.
- Perbanyaklah
Kegiatan Ekstrakulikuler di Sekolah. Kegiatan yang biasa dilakukan sehabis
selesai KBM dapat mencegah sang pelajar dari kegiatan-kegiatan yang
negatif. Misalkan ekskul futsal, setelah selesai futsal pelajar pasti
kelelahan sehingga tidak ada waktu untuk keluyuran malam atau hang out
dengan teman lainnya.
- Pengembangan
bakat dan minat pelajar. Setiap sekolah perlu mengkaji salah satu metode
ini, sebagai acuan sekolah dalam mengarahkan mereka sesuai dengan
keinginan mereka sendiri dan tentunya orangtua pun menyetujuinya.
Penelusuran bakat dan minat bisa mengarahkan potensi dan bakat mereka yang
terpendam.
- Pendidikan
Agama dari sejak dini. Sangat penting sekali karena apabila seorang
pelajar memiliki basic agama yang baik tentunya bisa mencegah pelajar
tersebut untuk berbuat yang tidak terpuji karena mereka mengetahui
akibatnya dari perbuatan tersebut. Agama harus ditanamkan sejak dini,
banyak sekolah-sekolah atau madrasah yang bisa menjadi referensi pendidikan
seorang anak dan biasanya mulai KBMnya siang setelah selesai sekolah
dasar. Dasar agama yang kuat membuat seorang pelajar memiliki kepekaan
yang tinggi terhadap lingkungan sekitarnya.
Boarding School
(Sekolah berasrama). Bisa menjadi salah satu alternatif mencegah pelajar dari
tawuran. Biasanya di sekolah ini, waktu belajar lebih lama dari sekolah umum.
Ada yang sampai jam 4 sore, setelah maghrib ngaji atau pelajaran agama. Selesai
isya pelajar biasanya pergi ke perpustakaan untuk belajar atau mengerjakan
tugas. Jam 8 malam, pelajar baru bisa istirahat atau lainnya. Sekolah ini
sangat efektif menurut saya, pelajar tidak ada waktu untuk berinteraksi dengan
dunia luar karena kesibukan mereka. Interaksi ada namun hanya satu kali dalam
seminggu.
3. Anak Yang Nakal
Analisis Hipotesis
Dari sekian banyak karunia di
dunia adalah memiliki anak. Seperti koin yang memilki dua sisi, anak selain
sebagai karunia bisa jadi ujian bagi kedua orang tuanya. Menarik ketika
membicarakan pendidikan psikologis anak. Ada empat faktor yang menjadi penyebab
mengapa anak-anak menjadi nakal (baca: kreatif)
1.
Kreatif
Usia anak-anak apalagi saat TK dan SD menjadi masa paling aktif secara motorik bagi anak-anak. Kenakalan anak-anak seperti berbuat kegaduhan, membuat hal-hal aneh merupakan kreativitas mereka sebagai anak di usia produktif. Jangan hambat mereka, namun arahkan ke hal yang menarik dan tidak membahayakan.
Usia anak-anak apalagi saat TK dan SD menjadi masa paling aktif secara motorik bagi anak-anak. Kenakalan anak-anak seperti berbuat kegaduhan, membuat hal-hal aneh merupakan kreativitas mereka sebagai anak di usia produktif. Jangan hambat mereka, namun arahkan ke hal yang menarik dan tidak membahayakan.
2.
Caper (Cari Perhatian)
Ayah lagi asyik maen laptop, si
kecil malah naek ke atas meja. Bunda lagi masak, si kecil malah maen
perang-perangan pake timun sambil dilempar-lempar. Yess, mereka cari-cari
perhatian. Rumusnya, jaga terus hubungan batin anak-orang tua. Jangan lupa
terus katakan, ayah/bunda sayang kamu, Nak.
3.
Ujian
Kenakalan anak mulai terasa
merepotkan tatkala mereka remaja. Anak mulai bergaul dengan anak-anak
tongkrongan. Mulai merokok, tatkala dinasehati hanya masuk telinga kiri keluar
telinga kanan. Tidak jarang mereka membantah orangtuanya. Padahal, kedua
orangtuanya rajin ibadah, soleh, perhatian dan telah memberikan yang terbaik.
Ini adalah ujian, seperti rekam jejak yang terjadi pada Nabi Nuh yang memiliki
anak pembangkang.
4.
Uang Haram/Syubhat
Ini dia satu hal yang sensitif.
Butuh kejujuran terdalam dari semua orang tua di dunia ini. Adakah uang
haram/syubhat yang masuk ke dalam perut anak-anaknya? Jika iya, tidak heran
jika buah hatinya berkelakuan nakal.
Solusi
Permasalahan :
Pertama,
teguran dan nasihat yang baik
Ini
termasuk metode pendidikan yang sangat baik dan bermanfaat untuk meluruskan
kesalahan anak. Metode ini sering dipraktikkan langsung oleh pendidik terbesar
bagi umat ini, Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, misalnya ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihat seorang anak kecil yang ketika sedang makan menjulurkan tangannya ke
berbagai sisi nampan makanan, maka beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai
anak kecil, sebutlah nama Allah (sebelum makan), dan makanlah dengan tangan
kananmu, serta makanlah (makanan) yang ada di hadapanmu.“
Serta dalam hadits yang terkenal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda kepada anak paman beliau, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma,
“Wahai anak kecil,
sesungguhnya aku ingin mengajarkan beberapa kalimat (nasihat) kepadamu: jagalah
(batasan-batasan/ syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah
(batasan-batasan/ syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu.”
Kedua,
menggantung tongkat atau alat pemukul lainnya di dinding rumah
Ini
bertujuan untuk mendidik anak-anak agar mereka takut melakukan hal-hal yang
tercela.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi
wa sallam menganjurkan ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Gantungkanlah cambuk
(alat pemukul) di tempat yang terlihat oleh penghuni rumah, karena itu
merupakan pendidikan bagi mereka.”
Bukanlah maksud hadits ini agar orangtua sering
memukul anggota keluarganya, tapi maksudnya adalah sekadar membuat anggota
keluarga takut terhadap ancaman tersebut, sehingga mereka meninggalkan
perbuatan buruk dan tercela.
Imam Ibnul Anbari berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak memaksudkan dengan perintah untuk menggantungkan cambuk (alat pemukul)
untuk memukul, karena beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan hal itu kepada seorang pun.
Akan tetapi, yang beliau maksud adalah agar hal itu menjadi pendidikan bagi
mereka.”
Masih banyak cara
pendidikan bagi anak yang dicontohkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu menyebutkan beberapa di antaranya, seperti:
menampakkan muka masam untuk menunjukkan ketidaksukaan, mencela atau menegur
dengan suara keras, berpaling atau tidak menegur dalam jangka waktu tertentu,
memberi hukuman ringan yang tidak melanggar syariat, dan lain-lain.
4. Anak yang suka Berbohong
Analisis Hipotesis
Berdasarkan
pengalaman ayah Edy, seoarang pakar parenting, anak (suka) berbohong
karena pada awalnya mencontoh orang-orang terdekatnya, siapapun orang itu
dan sekecil apa pun kebohongan itu. Salah satu contoh kebohongan kecil
yang (mungkin) sering dilakukan orang tua adalah ketika ada tamu tak
diundang yang bernama pengemis, orang tua berkata, “Dek, bilang mama gak ada
ya…”. Karena melihat orang-orang terdekatnya berbohong, si anak mengira bahwa
bebohong itu wajar-wajar saja dan boleh dilakukan. Akhirnya si anak pun mulai
berbohong. Jadi, faktor pertama anak (suka) berbohong adalah karena ada yang
dicontoh. Tidak mungkin seorang anak tiba-tiba suka berbohong jika tidak ada
yang dicontoh.
Faktor
kedua, orang tua seringkali ingin jawaban yang bagus-bagus dari sang anak. Jika
anak cerita tantang sesuatu yang jelek, yang tidak menyenangkan, sering kali
orang tua marah-marah. Orang tua tidak siap dengan jawaban yang tidak bagus.
Jadinya, kejujuran anak seringkali dibalas dengan emosi. Contoh: suatu hari
sang anak bolos sekolah, lalu orang tua mengatahui kalau anaknya bolos sekolah.
“adek
tadi bolos sekolah ya?”
“iya”
jawab sang anak
“Adek
ini, mama sudah susah-susah nyekolahin, malah sekolah gak bener..!! mau jadi
apa kamu!!”
Nah,
kebanyakan orang tua suka marah-marah seperti ini. Jadinya di kesempatan
berikutnya si anak berbohong karena takut dimarahi orang tuanya. Sebenarnya si
anak tidak memiliki niat jahat. Ia hanya ingin cari aman saja. Padahal kalau
orang tua gak marah-marah, orang tua mau mencari penyebab kenapa anak bolos
sekolah, kemudian membantu anak untuk menyelesaikan permasalahannya, malah orang
tua mau menasehati sang anak dengan lembut dan memotivasi anak agar lebih giat
belajar, kemungkinan besar anak tidak akan berbohong.
Solusi
Permasalahan :
Kalau penyebabnya karena ada yang dicontoh, solusinya adalah
mengubah sikap yang dicontoh. Jika bunda merasa pernah berbohong kepada anak,
katakana pada anak, “sayang, kalau kamu berbohong karena mencontoh mama,
maafkan mama ya. Mama berjanji tidak akan berbohong lagi. Tolong bantu mama
ya.. kalau mama berbohong, tolong adek ingatkan”. Jadi memang harus ada
komitmen yang dibangun oleh orang tua untuk mengoreksi diri. Kalau orang tua
mau berubah, insyaalloh anak pun akan berubah.
Kemudian,
jika selama ini orang tua sering marah-marah kalau mendengar atau mengetahui
bahwa si anak (mungkin) melakukan kesalahan, maka mulai sekarang kebiasaan ini
harus dirubah. Dengarkan jawaban anak tanpa memarahinya. Apapun jawabannya.
Kita sebagai orang tua mestinya bersyukur jika anak kita masih mau berkata
jujur kepada kita. Jadi anak kita masih percaya kepada kita. Ingat..!! marah
tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Bayangkan kalau anak sudah terlanjur
memakai narkoba. Kalau orang tuanya marah-marah saja, apa ini akan
menyelesaikan masalah?! Justru melihat orang tuanya marah, mungkin ia malah
akan terus melakukannya. Sebaliknya, jika orang tua mau menerima si anak apa
adanya, orang tua mau membantu anak menyelesaikan masalahnya, orang tua mau
bekerja sama dengan anak, kemungkinan besar “kerusakan” itu bisa diperbaiki
sedikit demi sedikit.
0 komentar:
Posting Komentar