PEMBELAJARAN
KONTEKSTUAL DAN IMPLEMENTASINYA
A.
Pembelajaran
Kontekstual
Pembelajaran kontekstual
merupakan pembelajaran yang
mengkaitkan materi
pembelajaran dengan konteks
dunia nyata yang
dihadapi siswa sehari-hari baik
dalam lingkungan keluarga,
masyarakat, alam sekitar
dan dunia kerja, sehingga siswa mampu membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, dengan
melibatkan tujuh komponen
utama pembelajaran yakni
: kontruktivisme (constructivism), bertanya
(questioning), menyelidiki (inquiry),
masyaraka belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi
(reflection), dan penilaian autentik (authentic assessment).
Makna dari kontruktivisme adalah siswa mengkonstruksi/membangun pemahaman
mereka sendiri dari
pengalaman baru berdasar
pada pengetahuan awal
melalui proses interaksi
sosial dan asimilasi-akomodasi. Implikasinya adalah
pembelajaran harus dikemas
menjadi proses
“mengkonstruksi” bukan menerima
pengetahuan. Inti dari
inquiry atau menyelidiki
adalah proses perpindahan
dari pengamatan menjadi pemahaman. Oleh karena itu dalam
kegiatan ini siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir
kritis.
Pokok-pokok pandangan Progresivisme
antara lain:
1) Siswa
belajar dengan baik apabila mereka secara aktif dapat mengkonstruksi sendiri
pemahaman mereka tentang apa yang diajarkan oleh guru.
2) Anak
harus bebas agar bisa berkembang wajar.
3) Penumbuhan
minat melalui pengalaman langsung untuk merangsang belajar.
4) Guru
sebagai pembimbing dan peneliti.
5) Harus
ada kerja sama antara sekolah dan masyarakat.
6) Sekolah
Progresif harus merupakan Laboratorium untuk melakukan Eksperimen.
Bertanya atau
questioning dalam pembelajaran kontekstual dilakukan
baik oleh guru
maupun siswa. Guru
bertanya dimaksudkan untuk mendorong,
membimbing dan menilai
kemampuan berpikir siswa.
Sedangkan untuk siswa
bertanya meupakan bagian penting dalam
pembelajaran yang berbasis
inquiry. Masyarakat belajar
merupakan sekelompok orang (siswa)
yang terikat dalam
kegiatan belajar, tukar pengalaman, dan berbagi
pengalaman. Sesuai dengan teori kontruktivisme, melalui interaksi
sosial dalam masyarakat
belajar ini maka
siswa akan mendapat
kesempatan untuk
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri,
oleh
karena itu bekerjasama dengan orang lain
lebih baik daripada belajar sendiri.
Pemodelan merupakan
proses penampilan suatu
contoh agar orang
lain (siswa) meniru,
berlatih, menerapkan pada
situasi lain, dan mengembangkannya. Menurut
Albert Bandura, belajar
dapat dilakukan dengan cara
pemodelan ini. Penilaian autentik dimaksudkan untuk mengukur dan membuat
keputusan tentang pengetahuan dan
keterampilan siswa yang autentik
(senyatanya). Agar dapat
menilai senyatanya, penilaian
autentik dilakukan dengan
berbagai cara misalnya
penilaian penilaian produk, penilaian kinerja
(performance), potofolio, tugas
yang relevan dan kontekstual, penilaian diri,
penilaian sejawat dan sebagainya. Refleksi pada prinsipnya adalah
berpikir tentang apa
yang telah dipikir
atau dipelajari, dengan kata
lain merupakan evaluasi
dan instropeksi terhadap
kegiatan
belajar yang telah ia lakukan.
Alasan perlu diterapkannya pembelajaran
kontekstual adalah :
1. Sebagian besar
waktu belajar sehari-hari
di sekolah masih
didominasi kegiatan penyampaian
pengetahuan oleh guru,
sementara siswa ”dipaksa” memperhatikan
dan menerimanya, sehingga
tidak menyenangkan dan memberdayakan siswa.
2. Materi pembelajaran
bersifat
abstrak-teoritis-akademis,
tdak terkait dengan
masalah-masalah yang dihadapi
siswa sehari-hari di
lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar dan dunia kerja.
3. Penilaian hanya
dilakukan dengan tes
yang menekankan pengetahuan,
tidak menilai kualitas dan kemampuan belajar siswa
yang autentik pada situasi yang autentik.
4. Sumber belajar masih
terfokus pada guru dan
buku. Lingkungan sekitar belum
dimanfaatkan secara optimal.
Selain teori
Progresivisme John Dewey, teori kognitif juga melatarbelakangi filosofi
pembelajaran Kontekstual. Siswa akan belajar dengan baik apabila mereka
terlibat secara aktif dalam kegiatan di kelas dan berkesempatan untuk menemukan
sendiri. Siswa menunjukkan hasil belajar dalam bentuk apa yang dapat mereka
ketahui dan apa yang dapat mereka lakukan. Belajar di pandang sebagai usaha
atau kegiatan intelektual untuk membangkitkan ide-ide yang masih laten melalui
kegiatan Intropeksi.
Disamping itu siswa
yang menggunakan strategi kognitif memungkinkan ketika ia mengikuti berbagai
uraian dari apa yang sedang ia baca, apa yang ia pelajari, mungkin ketrampilan
intelektual, mungkin informasi. Dia menggunakan strategi kognitif untuk memilih
dan menggunakan kode bagi apa yang dia pelajari, dan strategi lain untuk
mengungkapkannya kembali. Yang terpenting, dia menggunakan beberapa strategi
kognitif dalam memikirkan apa yang telah ia pelajari dan dalam memecahkan
masalah. Strategi kognitif adalah cara yang dimiliki pelajar dalam mengelola
proses belajar.
B.
Penerapan
Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran dikatakan
mengunakan pendekatan kontekstual
jika materi
pembelajaran tidak hanya
tekstual melainkan dikaitkan
dengan peneapannya dalam kehidupan
sehari-hari siswa di
lingkungan keluarga,
masyarakat, alam sekitar,
dan dunia kerja,
dengan melibatkan ketujuh komponen utama
tersebut sehinggga pembelajaran menjadi bermaknabagi siswa. Model
pembelajaran apa saja
sepanjang memenuhi persyaratan tersebut dapat
dikatakan
menggunakanpendekatan
kontekstual. Pembelajaran
kontekstual dapat diterapakan
dalam kelas besar
maupun kelas kecil, namun
akan lebih mudah organisasinya
jika diterapkan dalam kelas
kecil. Penerapan
pembelajaran kontekstual dalam
kurikulum berbasis kompetensi
sangat sesuai.
Dalam penerapannya
pembelajaran kontekstual tidak
memerlukan biaya besar dan
media khusus. Pembelajaran
kontekstual memanfaatkan
berbagai sumber dan
media pembelajaran yang
ada di lingkungan
sekitar seperti tukang las, bengkel, tukang reparasi elektronik,
barang-barang bekas, koran,
majalah, perabot-perabot rumah
tangga, pasar, toko,
TV, radio, internet, dan
sebagainya. Guru dan
buku bukan merupakan
sumber dan media sentral,
demikian pula guru tidak dipandang sebagai orang yang serba tahu, sehingga
guru tidak perlu
khawatir menghadapi berbagai pertanyaan iswa yang terkait dengan
lingkungan baik tradisional maupun modern.
Seperti
yang dikemukakan di muka, dalam pembelajaran kontekstual tes hanya
merupakan sebagian dari
teknik/ instrumen penelitian
yang bermaca-macam seperti wawancara,
observasi, inventory, skala
sikap, penilaian kinerja, portofolio,
jurnal siswa, dan
sebagainya yang semuanya disinergikan untuk menilai
kemampuan siswa yang
sebenarnya (autentik). Penilainya
bukan hanya guru saja tetapi juga diri sendiri, teman siswa, pihak lain (teknisi, bengkel, tukang
dsb.). Saat penilaian diusahakan pada situasi yang autetik
misal pada saat
diskusi, praktikum, wawancara
di bengkel, kegiatan
belajar-mengajar di kelas dan sebagainya.siswa.
Dalam pembelajaran
kontekstual rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) sebenarnya lebih
bersifat sebagai rencana pribadi dari
pada sebagai laporan untuk kepala sekolah atau pengawas seperti yang dilakukan
saat ini. Jadi RPP lebih
cenderung berfungs mengingatkan
guru sendiri dalam menyapkan alat-alat/media dan
mengendalikan langkah-langkah (skenario) pembelajaran sehingga bentuknya
lebih sederhana.
Beberapa model
pembelajaran yang meruapakan
aplikasi pembelajaran
kontekstual antara lain model
pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran
koperatif (cooperatif learning),
pembelajaran berbasis masalah (problem based learning).
1. Model
Pembelajaran Langsung
Inti dari
model pembelajaran langsung
adalah guru mendemonstrasikan pengetahuan
atau keterampilan tertentu,
selanjutnya melatihkan keterampilan
tersebut selangkah demi selangkah kepada siswa.
Rasional teoritik
yang melandasi model
ini adalah teori
pemodelan tingkah laku
yang dikembangkan oleh
Albert Bandura. Menurut
Bandura, belajar dapat dilakukan melalui pemodelan (mencontoh, meniru)
perilaku dan pengalaman orang lain.
Sebagai contoh untuk
dapat mengukur panjang dengan
jangka sorong, siswa
dapat belajar dengan
menirukan cara mengukur panjang
dengan jangka sorong yang dicontohkan oleh guru.
Tujuan
yang dapat dicapai melalui model pembelajaran
ini terutama adalah penguasaan
pengetahuan prosedural (pengetahuan
bagaimana melakukan sesuatu misalnya
mengukur panjang dengan
jangka sorong, mengerjakan soal-soal
yang terkait dengan
hukum kekekalan energi,
dan menimbang benda dengan neraca Ohauss), dan atau pengetahuan deklaratif
(pengetahuan tentang sesuatu
misal nama-nama bagian
jangka sorong, pembagian skala
nonius pada micrometer sekrup, dan
fungsi bagian-bagian neraca Ohauss),
serta keterampilan belajar
siswa (misal menggarisbawahi kata kunci,
menyusun jembatan keledai,
membuat peta konsep,
dan membuat rangkuman).
Model pembelajaran
ini cenderung berpusat
pada guru, sehingga sebagian besar
siswa cenderung bersikap
pasif, maka perencanaan
dan pelaksanaan hendaknya sangat hati-hati. Sistem pengelolaan
permbelajaran yang dilakukan oleh
guru harus menjamin
keterlibatan seluruh siswa khususnya
dalam memperhatikan, mendengarkan, dan resitasi (tanya jawab). Pengaturan lingkungan
mengacu pada tugas
dan memberi harapan
yang tinggi agar siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran.
2. Model
Pembelajaran Berbasis Masalah
Inti dari
pembelajaran berbasis
masalah adalah guru menghadapkan siswa
pada situasi masalah
kehidupan nyata (autentik)
dan bermakna, memfasilitasi siswa
untuk memecahkannya melalui
penyelidikan/ inkuari dan kerjasama,
memfasilitasi dialog dari berbagai segi, merangsang siswa untuk menghasilkan
karya pemecahan dan peragaan hasil.
Rasional teoritik
yang melandasi model
ini adalah teori konstruktivisme Piaget
dan Vigotsky, serta
teori belajar penemuan
dari Bruner. Menurut teori
konstruktivisme pengetahuan tidak
dapat ditransfer dari guru
ke siswa seperti
menuangkan air dalam
gelas, tetapi siswa
mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui
proses intra-individual asimilasi dan
akomodasi (menurut Piaget) dan
proses inter-individual atau sosial
(menurut Vigotsky). Menurut Bruner belajar yang
sebenarnya terjadi melalui
penemuan, sehingga dalam proses pembelajaran hendaknya banyak menciptakan peluang-peluang untuk aktivitas penemuan
siswa.
Tujuan yang
dapat dikembangkan melalui
model pembelajaran ini adalah
keterampilan berfikir dan
pemecahan masalah, kinerja
dalam menghadapi situasi kehidupan nyata, membentuk pebelajar yang
otonom dan mandiri.
Lingkungan belajar dan
sistem pengelolaan pada model pembelajaran berbasis masalah ini dicirikan oleh adanya sifat
terbuka, proses demokrasi, dan peranan aktif siswa. Keseluruhan proses
diorientasikan untuk membantu siswa menjadi
mandiri, otonom, percaya
pada keterampilan intelektual sendiri melalui
keterlibatan aktif dalam
lingkungan yang berorientasi
pada inkuiri terbuka dan bebas mengemukakan pendapat.
3. Model
Pembelajaran Koperatif
Inti model
pembelajaran koperatif adalah
siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil,
yang anggota-anggotanya memeliki
tingkat kemampuan yang berbeda
(heterogen). Dalam memahami
suatu bahan pelajaran dan
menyelesaikan tugas kelompok,
setiap anggota saling bekerjasama sampai
seluruh anggota menguasai bahan pelajaran tersebut.
Dalam variasinya
ditemui banyak tipe
pendekatan pembelajaran koperatif misalnya STAD (Student
Teams Achievement Division),
Jigsaw, Investigasi
Kelompok, dan Pendekatan
Struktural, namun tidak
dikemukakan dalam materi diklat
ini.
Rasional teoritik yang
melandasi model ini adalah teori konstruktivisme Vigotsky yang menekankan pentingnya
sosiokultural dalam proses
belajar seperti tersebut di muka,
dan teori pedagogi John Dewey yang menyatakan bahwa kelas
seharusnya merupakan miniatur
masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium
untuk belajar kehidupan
nyata. Guru seharusnya menciptakan di
dalam lingkungan belajarnya
suatu sistem sosial
yang bercirikan demokrasi dan proses ilmiah.
Tujuan yang dapat
dicapai melalui model pembelajaran ini adalah hasil belajar akademik yakni
penguasaan konsep-konsep yang sulit, yang melalui kelompok koperatif
lebih mudah dipahami
karena adanya tutor
teman sebaya, yang mempunya
orientasi dan bahasa
yang sama. Disamping
itu hasil belajar keterampilan
sosial yang berupa
keterampilan koperatif (kerjasama dan
kolaborasi) juga dapat
dikembangkan melalui model pembelajaran ini.
Lingkungan belajar
dan sistem pengelolaan pada model pembelajaran koperatif ini
dicirikan oleh proses
demokrasi dan peran
aktif siswa dalam menentukan apa
yang harus dipelajari
dan bagaimana mempelajarinya. Dalam pengaturan
lingkungan diusahakan agar
materi pembelajaran yang lengkap
tersedia dan dapat
diakses setiap siswa,
serta guru menjauhi kesalahan tradisional yakni secara
ketat mengelola tingkah-laku siswa dalam kerja kelompok.
0 komentar:
Posting Komentar