PERMASALAHAN MUTU WAJAR 9 TAHUN DAN MASALAH TENAGA KEPENDIDIKAN
2.1. Wajib Belajar
2.1.1.
Latar Belakang Pelaksanaan Wajib Belajar
Program Wajib Belajar pada hakikatnya merupakan upaya sistematis
pemerintah untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, sehingga dapat
berpartisipasi aktif dalam keseluruhan pembangunan nasional serta adaptif
dalam penyerapan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), yang
muaranya adalah mendekatkan pada pencapaian tujuan pembangunan nasional, yakni
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu,
Program Wajib Belajar juga merupakan salah satu pengembangan skenario
pendidikan yang dijangkaukan untuk perluasan dan pemerataan kesempatan belajar
bagi setiap warga negara. Kebijakan tersebut merupakan salah satu
pengejawantahan isi pasal 31 UUD 1945 ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap
warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Hal ini sejiwa dengan Hasil
Konferensi Pendidikan untuk Semua (Education for All) di Jomtien,
Thailand, Maret 1990. Konferensi yang dihadiri oleh 1500 peserta dari 155
negara tersebut menegaskan bahwa “pendidikan merupakan hak bagi semua orang
dan juga dapat membantu secara meyakinkan orang menjadi lebih aman, lebih
sehat, lebih berhasil, dan lebih berwawasan lingkungan”.
Dalam kaitannya dengan pendidikan untuk semua tersebut,
deklarasi pendidikan untuk semua di Indonesia, khususnya berkaitan dengan
pengembangan pendidikan dasar, adalah pendidikan semesta (Universal
Education). Artinya, sistem pendidikan nasional di Indonesia dikerangkakan
untuk membuka dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua warga
negara untuk memperoleh pendidikan dasar.
Sejalan dengan isi deklarasi tersebut, awalnya Program Wajib
Belajar di Indonesia dimaknai sebagai pemberian kesempatan belajar
seluas-luasnya kepada setiap warga negara untuk mengikuti pendidikan sampai
dengan tingkat pendidikan tertentu .Ditinjau dari dimensi pembangunan nasional
secara keseluruhan, Program Wajib Belajar merupakan salah satu bentuk
kebijakan nasional dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia
Indonesia. Meskipun secara makro, peningkatan sumber daya manusia tersebut juga
mencakup aspek sosial dan ekonomi, namun dimensi utama dan kuncinya adalah
pendidikan.
Dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber
daya manusia Indonesia tersebut, sistem pendidikan nasional harus dapat
memberikan pendidikan dasar bagi setiap warga negara agar masing-masing memperoleh
sekurang-kurangnya pengetahuan dan kemampuan dasar yang diperlukan untuk dapat
berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh
karena itu, Program Wajib Belajar mendesak untuk dilaksanakan sehubungan dengan
tuntutan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai salah satu
aset dan potensi utama pembangunan nasional. Menyadari betapa besar dan penting
peran pendidikan dalam peningkatan dan pengembangan kualitas sumber daya
manusia, Pemerintah mengambil langkah antisipatif dengan pencanangan dan
pemberlakuan Program Wajib Belajar bagi setiap warga negara. Pada tahap awal Pemerintah
telah mencanangkan Program Wajib Belajar 6 Tahun yang pada dasarnya merupakan
prasyarat umum bahwa setiap anak usia sekolah dasar (7-12 tahun) harus dapat
membaca, menulis, dan berhitung.
Program Wajib Belajar 6 Tahun yang dicanangkan Pemerintah
pada PELITA III tersebut telah memberikan dampak positif dan hasil yang
menggembirakan, terutama pada percepatan pemenuhan kualitas dasar manusia Indonesia.
Salah satu hasil yang paling mencolok dirasakan, bahwa Program Wajib Belajar 6
Tahun tersebut telah mampu menghantarkan Angka Partisipasi (Murni) Sekolah.
Dalam rangka memperluas kesempatan pendidikan bagi seluruh warga negara dan
juga dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia,
Pemerintah melalui PP No. 28/1990 tentang Pendidikan Dasar menetapkan Program
Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Orientasi dan prioritas kebijakan
tersebut, antara lain: (1) penuntasan anak usia 7-12 tahun untuk Sekolah Dasar
(SD), (2) penuntasan anak usia 13-15 tahun untuk SLTP, dan (3) pendidikan untuk
semua (educational for all).
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun diharapkan
mampu mengantarkan manusia Indonesia pada pemilikan kompetensi Pendidikan
Dasar, sebagai kompetensi minimal. Kompetensi Pendidikan Dasar yang
dimaksudkan, mengacu pada kompetensi yang termuat dalam Pasal 13 UU No. 2/1989
yaitu kemampuan atau pengetahuan dan ketrampilan dasar yang diperlukan untuk
hidup dalam masyarakat serta untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi
(pendidikan menengah). Hal ini juga
relevan dengan unsur-unsur kompetensi pendidikan dasar yang harus dikuasai
lulusan seperti yang diidentifikasi oleh The International Development Research
Center, meliputi: (1) kemampuan berkomunikasi; (2) kemampuan dasar
berhitung; (3) pengetahuan dasar tentang negara, budaya, dan sejarah; (4)
pengetahuan dan ketrampilan dasar dalam bidang kesehatan, gizi, mengurus rumah
tangga, dan memperbaiki kondisi kerja; dan (5) kemampuan berpartisipasi secara
aktif dalam masyarakat sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat,
memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara, bersikap dan berpikir
kritis, serta dapat memanfaatkan perpustakaan, buku-buku bacaan, dan siaran
radio. Program wajib belajar 9 tahun
yang didasari konsep “pendidikan dasar untuk semua” (universal basic
education), juga sejalan dengan Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia, tentang Hak Anak, dan
tentang Hak dan Kewajiban Pendidikan Anak.
Di samping itu, menurut May, wajib belajar 9 tahun juga
bertujuan merangsang aspirasi pendidikan orangtua dan anak yang pada gilirannva
diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kerja penduduk secara nasional.
Untuk itu, target penyelenggaraan wajib belajar 9 tahun bukan semata-mata untuk
mencapai target angka partisipasi sesuai dengan target yang ditentukan namun
perhatian yang sama ditujukan juga untuk memperbaiki kualitas pendidikan dasar
dan pelaksanaan pendidikan yang mangkus (efektif).
Pelaksanaan dan ketuntasan program wajib belajar juga mampu
mengurangi angka kemiskinan. Melalui pendidik ini pula, bangsa Indonesia mampu
mencapai cita-citanya, yaitu menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia. “Pendidikan adalah kekuatan”, maka Bangsa Indonesia akan segera
terbebas dari kebodohan dan kemiskinan serta menjadi bangsa yang unggul pada
kompetisi global.
Lebih lanjut, wajib belajar merupakan fondasi bagi
pengembangan .jenjang pendidikan lebih lanjut dan kemajuan peradaban bangsa
khususnya dalam menghadapi tantangan dan perkembangan zaman dan kompetisi
tingkat global. Pendidikan dasar juga mampu mewujudkan masyarakat yang cerdas,
dan ekonomi yang mapan sehingga negara menjadi maju.
Di sisi lain, pelaksanaan wajar baik 6 tahun maupun 9 tahun
secara umum bertujuan untuk: 1) memberikan kesempatan setiap warga negara
tingkat minimal SD dan SMP atau yang sederajat, 2) setiap warga negara dapat
mengembangkan dirinya lebih lanjut yang akhirnya mampu memilih dan mendapatkan
pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki, 3) Setiap warga negara
mampu berperan serta dalani kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara,
dan 4) Memberikan jalan kepada siswa untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat
yang lebih tinggi.
2.1.2.
Strategi Pelaksanaan Wajib Belajar
Strategi
pelaksanaan Wajib Belajar 9 Tahun di Indonesia, saat ini, dilaksanakan dengan
menerapkan beberapa pendekatan, meliputi: pendekatan budaya, pendekatan sosial,
pendekatan agama, pendekatan birokrasi, pendekatan hukum, serta pendekatan
konteks.
(a) Pendekatan Budaya
Sosialisasi wajib belajar dilakukan dengan memanfaatkan
budaya yang berkembang di daerah tersebut; misalnya daerah yang masyarakatnya
senang dengan seni, maka pesan-pesan wajib belajar dapat disisipkan pada gelar
seni. Masyarakat yang sangat menghormati adat, maka tokoh adat dilibatkan dalam
pemikiran dan pelaksanaan sosialisasi Wajar Dikdas sembilan tahun yang bermutu.
Sanksi adat biasanya lebih disegani daripada sanksi hukum.
(b) Pendekatan
Sosial
Sosialisasi Wajar Dikdas sembilan tahun yang bermutu perlu
memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Bila dalam masyarakat ada
tokoh yang disegani dan bisa menjadi panutan, maka tokoh ini perlu dilibatkan
dalam sosialisasi. Tokoh masyarakat ini bisa berasal dari tokoh formal, maupun
tokoh non formal. Pada masyarakat ekonomi lemah, sosialisasi dilakukan dengan
memberikan informasi tentang pelayanan pemerintah untuk pendidikan, misalnya
BOS ataupun beasiswa. Bila anak sibuk membantu kerja orangtua, anak tidak harus
berhenti bekerja, tetapi disampaikan jenis pendidikan alternatif yang bisa
diikuti oleh anak yang bersangkutan, misalnya SMP Terbuka atau program Paket B.
(c) Pendekatan Agama
Pada daerah tertentu ada yang masyarakatnya sangat agamis
dan sangat mentaati ayat-ayat suci. Untuk daerah seperti ini peran para tokoh
agama sangat sesuai. Dengan mengutip ayat-ayat suci, maka konsep wajib belajar
lebih mudah diikuti. Untuk ini motto “belajar adalah ibadah” yang didasarkan
atas kajian yang sangat mendalam oleh para tokoh agama dapat diangkat menjadi
motto dalam sosialisasi Wajar Dikdas sembilan tahun yang bermutu.
(d) Pendekatan Birokrasi
Pendekatan birokrasi ialah upaya memanfaatkan sistem
pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Pembentukan tim koordinasi
di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan merupakan salah satu
bentuk pendekatan birokrasi. Birokrasi ditempuh karena dengan pendekatan ini
lebih mudah diperoleh berbagai faktor penunjang baik tenaga, sarana, maupun
dana. Namun demikian pendekatan ini akan lebih berhasil bila digabung dengan
pendekatan yang lain.
(e) Pendekatan Hukum
Pendekatan hukum ialah pendekatan yang hanya digunakan untuk
daerah yang masyarakatnya memiliki kesadaran terhadap pendidikan sangat rendah
dan tingkat resistensinya tinggi. Program Wajib Belajar Sembilan Tahun sampai
saat ini masih memberlakukan konsep “universal basic education” dan
belum menerapkan konsep “compulsary education”. Artinya, program wajib
belajar baru sebatas himbauan tanpa diikuti sanksi hukum. Namun jika
diperlukan, UU Nomor 20 tahun 2003, memberi kemungkinan kepada pemerintah untuk
menerapkan konsep “compulsary education”, sehingga berkonsekuensi adanya
sanksi hukum bagi yang tidak mau melaksanakan tanggung jawabnya terhadap
program wajib belajar, baik pemerintah, pemerintah daerah, orangtua, maupun
peserta didik.
Untuk mempercepat akselerasi penuntasan wajib belajar, pada
tahun 2006 pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2006 tentang
Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar
Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Inpres ini menginstruksikan
kepada para Menteri terkait, Kepala BPS, Gubernur, Bupati dan Walikota untuk
memberikan dukungan dan mensukseskan program pemerintah yang dimaksud.
1.1.3. Kondisi
Pencapaian Wajib Belajar 9 Tahun
Indikator yang dipakai
pemerintah untuk mengukur ketercapaian Program Wajib Belajar 9 Tahun adalah
pencapaian Angka Partisipasi Kasar (APK). APK adalah hasil perhitungan jumlah
siswa SMP/sederajat di suatu daerah dibagi jumlah penduduk usia 13 s.d. 15
tahun dikali 100%. Tingkat ketuntasan daerah dalam melaksanakan program Wajar
Dikdas 9 Tahun dikategorikan:
a. Tuntas pratama, bila APK
mencapai 80% s.d. 84%
b. Tuntas madya, bila APK
mencapai 85 % s.d. 89%
c. Tuntas utama, bila APK
mencapai 90% s.d. 94%
d. Tuntas paripurna, bila APK
mencapai minimal 95%.
2.2.
Mutu Pendidikan
Mutu
secara etimologis bersinonim dengan kata ‘kualitas, bobot, derajat, jenis,
karat, kadar, kelas, nilai, taraf’. Dengan kata lain, mutu adalah kondisi
(kualitas, bobot, derajat, dst) barang atau jasa yang dihasilkan dari sebuah
proses. Batasan mutu biasanya diserta deskripsi proses produksi untuk
menghasilkan barang atau jasa tersebut.Pembahasan tentang mutu biasanya tidak
dilepaskan dari tonggak sejarah yang menempatkan mutu sebagai esensi utama yang
harus dipertimbangkan dari sebuah rencana kerja (produksi).
Dua nama yang sering disebut sebagai “Bapak Mutu” adalah Dr.
W. Edward Deming dan Dr. Joseph M. Juran. Keduanya adalah konsultan mutu
berkebangsaan Amerika yang berhasil secara gemilang “membangunkan” industri di
Jepang setelah hancur lebur pasca Perang Dunia II. Keduanya menempatkan kontrol
mutu menjadi salah satu gugus kerja dalam proses produksi. Dalam bidang
pendidikan Juran menegaskan bahwa dasar misi mutu sebuah sekolah adalah
“mengembangkan program dan layanan yang memenuhi kebutuhan pengguna seperti
siswa dan masyarakat”.
Lewis dan Smith secara lebih rinci menterjemahkan bahwa mutu
secara keseluruhan (total quality), termasuk dalam bidang pendidikan,
mencakupi tiga ranah yang wajib diperhatikan yaitu: seluruh proses, seluruh
pekerjaan, dan seluruh personil yang terlibat. Pertama, total quality
mencakup seluruh proses, bukan hanya proses produksi semata. Di dalamnya juga
harus tercakup pengembangan proses perancangan, pembangunan, penelitian dan
pengembangan, akunting, pemasaran, layanan perbaikan, dan seluruh fungsi
lainnya. Kedua, total quality menghendaki dilaksanakannya setiap
pekerjaan yang terkait dalam proses secara prima (profesional). Ketiga, total
quality menghendaki semua orang yang terlibat dalam pekerjaan bertanggung
jawab atas kualitas pekerjaan yang menjadi tugasnya. Wanprestasi pada salah
satu pekerjaan akan sangat berpengaruh pada kualitas pekerjaan secara
keseluruhan.
Dalam bidang pendidikan, untuk bisa menghasilkan mutu,
terdapat empat usaha mendasar yang harus dilakukan dalam suatu lembaga
pendidikan, yaitu :
1.
Menciptakan
situasi menang-menang (win-win solution) dan bukan situasi kalah menang
diantara pihak yang berkepentingan dengan lembaga pendidikan (stakeholders).
Dalam hal ini terutama antara pimpinan lembaga dengan staf lembaga harus
terjadi kondisi yang saling menguntungkan satu sama lain dalam meraih mutu
produk/jasa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan tersebut.
2.
Perlunya
ditumbuhkembangkan motivasi instrinsik pada setiap orang yang terlibat dalam
proses meraih mutu. Setiap orang dalam lembaga pendidikan harus tumbuh motivasi
bahwa hasil kegiatannya mencapai mutu tertentu yang meningkat terus menerus,
terutama sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna/langganan.
3.
Setiap
pimpinan harus berorientasi pada proses dan hasil jangka panjang. Penerapan
manajemen mutu terpadu dalam pendidikan bukanlah suatu proses perubahan jangka
pendek, tetapi usaha jangka panjang yang konsisten.
4. Dalam menggerakkan segala
kemampuan lembaga pendidikan untuk mencapai mutu yang ditetapkan, harus
dikembangkan adanya kerjasama antar unsur-unsur pelaku proses mencapai hasil
mutu. Janganlah diantara mereka terjadi persaingan yang mengganggu proses
mencapai hasil mutu tersebut. Mereka adalah satu kesatuan yang harus
bekerjasama dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain untuk menghasilkan mutu
sesuai yang diharapkan.
Dalam kerangka manajemen pengembangan mutu terpadu, usaha
pendidikan tidak lain adalah merupakan usaha jasa yang memberikan pelayanan
kepada pelangggannya, yaitu mereka yang belajar dalam lembaga pendidikan
tersebut.
Pelanggan layanan pendidikan terdiri dari berbagai unsur
paling tidak empat kelompok. Mereka itu adalah pertama yang belajar,
bisa mahasiswa/ pelajar/murid/peserta belajar yang biasa disebut
klien/pelanggan primer (primary external customers). Mereka inilah yang
langsung menerima manfaat layanan pendidikan dari lembaga tersebut. Kedua,
para klien terkait dengan orang yang mengirimnya ke lembaga pendidikan, yaitu
orang tua atau lembaga tempat klien tersebut bekerja, dan mereka ini kita sebut
sebagai pelanggan sekunder (secondary external customers). Pelanggan
lainnya yang ketiga bersifat tersier adalah lapangan kerja bisa
pemerintah maupun masyarakat pengguna output pendidikan (tertiary external
customers). Selain itu, yang keempat, dalam hubungan kelembagaan
masih terdapat pelanggan lainnya yaitu yang berasal dari intern lembaga; mereka
itu adalah para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi lembaga pendidikan,
serta pimpinan lembaga pendidikan (internal customers). Walaupun para
guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi, serta pimpinan lembaga pendidikan
tersebut terlibat dalam proses pelayanan jasa, tetapi mereka termasuk juga
pelanggan jika dilihat dari hubungan manajemen. Mereka berkepentingan dengan
lembaga tersebut untuk maju, karena semakin maju dan berkualitas lem-baga
pendidikan mereka akan diuntungkan, baik kebanggaan maupun finansial.
Seperti disebut diatas bahwa program peningkatan mutu harus
berorientasi kepada kebutuhan/harapan pelanggan, maka layanan pendidikan suatu
lembaga haruslah memperhatikan masing-masing pelanggan diatas. Kepuasan dan
kebanggaan dari mereka sebagai penerima manfaat layanan pendidikan harus
menjadi acuan bagi program peningkatan mutu layanan pendidikan.
Potensi perkembangan, dan keaktifan murid tentu saja
merupakan yang paling utama dalam peningkatan mutu pendidikan. Perkembangan
fisik yang baik, baik jasmani maupun otak, menentukan kemajuannya. Demikian
pula dengan lainnya, misalnya bakat, perkembangan mental, emosional, pibadi,
sosial, sikap mental, nilai-nilai, minat, pengertian, umur, dan kesehatan;
kesemuanya akan mempengaruhi hasil belajar dan mutu seseorang. Untuk itu, maka
perhatian terhadap paserta didik menjadi sangat penting.
2.3. Masalah Tenaga Kependidikan
Sosok
guru di sekolah harus diakui sebagai bagian penentu terhadap kualitas
pendidikan, terhadap kualitas SDM kita. Sekalipun sebagai penentu dalam
pendidikan dalam proses pencerdasan kehidupan berbangsa, kesejahteraan para
guru sering tanpa ada yang memperhatikan. Kesejahteraan yang makin memburuk
membuat para guru terpuruk dalam segala hal, mulai dari sulitnya menyandang
kriteria hidup layak sampai kemampuan untuk mengikuti serta mengadopsi
perkembangan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud hidup layak di sini adalah punya
rumah layak huni, tersedianya dana simpanan untuk kesehatan dan pendidikan anak
serta mampu membayar alat transportasi dari rumah ke sekolah. Guru yang kurang
sejahtera akan berusaha sedapat mungkin mencari tambahan penghasilan, termasuk
menjadi petani ataupun tukang ojek. Konsekuensinya, mereka sering tertinggal
untuk mengembangkan diri terhadap pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan.
Hal lain yang berkaitan dengan rendahnya mutu guru adalah
masalah pengangkatan guru kontrak atau guru bantu. Dengan menjadi guru kontrak
atau guru bantu yang statusnya tidak pasti serta dengan gaji kecil membuat
kinerja para guru kontrak dan guru bantu kurang maksimal.
Sekarang ini
dimungkinkan bagi lulusan non-LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan)
untuk memperoleh Akta IV sebagai bentuk kualifikasi mengajar yang
perkuliahannya paling lama dua semester, menambah bukti bahwa pemerintah kurang
mempunyai konsep yang jelas terhadap arti penting mutu tenaga kependidikan.
Akibatnya, mutu pendidikan kita masih jalan di tempat dan jauh tertinggal
dibandingkan dengan negara tetangga ( Malaysia ) yang dulu tenaga pendidiknya
belajar di Indonesia.
2.4. Solusi Masalah
Tenaga Kependidikan
Untuk
meningkatkan kinerja tenaga kependidikan, memang tidak mudah dan banyak hal
rumit yang harus dilalui, diantaranya :
1.
Peningkatan gaji dan kesejahteraan guru
Hak utama pendidik yang harus
memperoleh perhatian dalam kebijakan pemerintah adalah hak untuk memperoleh
penghasilan dan kesejahteraan dengan standar upah yang layak, bukan 'upah
minimum'. Kebijakan "upah minimun" boleh jadi telah menyebabkan
pegawai bermental kuli, bukan pegawai yang mengejar prestasi. Itulah sebabnya,
maka langkah pertama peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan adalah
memberikan kesejahteraan guru dengan gaji yang layak untuk kehidupannya. Langkah
pertama ini dinilai amat vital dan strategis untuk meningkatkan mutu pendidik
dan tenaga kependidikan. Mengapa? Setidaknya ada dua alasan. Pertama, dari lima
syarat pekerjaan dapat disebut sebagai profesi, yang masih belum terpenuhi
secara sempurna adalah gaji dan kompensasi dari pelaksanaan peran sebagai
profesi. Kelima syarat pekerjaan sebagai
profesi adalah
1) bahwa pekerjaan itu memiliki
fungsi dan signifikansi bagi masyarakat,
2) bahwa pekerjaan itu memerlukan
bidang keahlian tertentu,
3) bidang keahlian itu dapat
dicapai dengan melalui cabang pendidikan tertentu (body of knowledge),
4) bahwa pekerjaan itu
memerlukan organisasi profesi dan adanya kode etik tertentu, dan kemudian
5) bahwa pekerjaan tersebut
memerlukan gaji atau kompensasi yang memadai agar pekerjaan itu dapat
dilaksanakan secara profesional.
Dari kelima syarat tersesbut,
yang masih belum terpenuhi sepenuhnya adalah syarat yang kelima, yakni gaji dan
kompensasi yang memadai. Alasan kedua, karena peningkatan gaji dan
kesejahteraan merupakan langkah yang memiliki dampak yang paling berpengaruh (multiplier
effects) terhadap langkah-langkah lainnya. Kalau perlu, agar langkah pertama
tersebut tidak menjadikan iri bagi pekerjaan lainnya, kenaikan gaji dapat
dilakukan secara menyeluruh dan bertahap. Hal ini terkait dengan maraknya
tindak korupsi yang telah mencapai tingkat yang berbahaya seperti virus yang
telah menjangkiti semua aspek kehidupan manusia.
Apa prasyarat yang harus
dipenuhi untuk dapat melaksanakan langkah pertama ini dengan baik? Jika standar
gaji yang akan dinaikkan itu cukup tinggi, maka kenaikan gaji dapat dilakukan
dengan standar kompetensi yang tinggi pula. Yang akan diberikan kenaikan gaji
adalah para pendidik dan tenaga kependidikan yang telah mencapai standar
kompetensi yang telah ditetapkan. Oleh karena dewasa ini terdapat berbagai
pangkat dan golongan pegawai, maka kenaikan gajinya juga diselaraskan dengan
pangkat dan golongan pegawai tersebut. Dengan demikian, uji kompetensi harus
dilakukan dahulu secara jujur dan transparan. Untuk itu, maka instrumen uji
kompetensi harus disiapkan secara matang. Jangan ada kecurangan dalam proses
uji kompetensi ini. Jika terjadi kecurangan dalam pelaksanaan uji kompetensi,
maka secara otomatis akan dapat merusak seluruh komponen dalam sistem ini.
Langkah pertama ini akan berjalan dengan lebih mantap jika sistem pembayaran
gajinya telah dilaksanakan dengan melalui bank.
2. Alih tugas profesi dan rekruitmen guru untuk
menggantikan guru atau pendidik yang dialihtugaskan ke profesi lain
Langkah kedua ini merupakan
konsekuensi dari langkah pertama. Para pendidik yang tidak memenuhi standar
kompetensi harus dialihtugaskan kepada profesi lain. Syaratnya,
1) mereka telah diberikan
kesempatan untuk mengikuti diklat dan pembinaan secara intensif, tetapi tidak
menunjukkan adanya perbagian yang signifikan,
2) guru tersebut memang tidak
menunjukkan adanya perubahan kompetensi dan juga tidak ada indikasi positif
untuk meningkatkan kompetensinya. Jika syarat tersebut telah dilakukan, maka
mereka harus rela dan pantas untuk dialihtugaskan dari profesi guru menjadi tenaga
lain yang sesuai, misalnya tenaga administrasi, atau kalau perlu
dipensiundinikan.
Untuk mengganti tenaga
pendidik yang telah dialihtugaskan ke profesi lain tersebut perlu diadakan
seleksi (rekruitmen) secara jujur dan transparan, sesuai standar kualifikasi
yang telah ditetapkan. Rekruitmen pendidik yang jujur dan transparan ini telah
dilakukan oleh Paulo Freirie dalam rangka reformasi pendidikan di Brazilia.
Crass program seperti guru bantu sebaiknya tidak dilakukan di masa-masa
mendatang, karena program seperti ini sama dengan ibarat memasang bom waktu
yang berbahaya, terutama jika tidak mengelola program ini dengan baik. Program
guru bantu dapat saja dimasukkan menjadi satu sistem dalam rekruitmen guru.
Artinya, proses rekruitmen guru dilakukan dengan mekanisme melalui guru bantu.
Jadi, untuk ikut rekruitmen guru seseorang harus melalui guru bantu. Guru bantu
yang tidak lulus tes secara otomatis menjadi masa akhir kontrak kerja untuk
menjadi guru bantu.
3.
Membangun
sistem sertifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, serta sistem penjaminan
mutu pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan
Langkah ini merupakan langkah yang amat besar, yang akan
memberikan dukungan bagi pelaksanaan langkah pertama, yang juga sangat berat,
karena terkait dengan anggaran belanja negara yang sangat besar. Penataan
sistem sertifikasi pendidik dan tenaga kependidikan tidak boleh tidak harus
dilakukan untuk menjamin terpenuhinya berbagai standar nasional pendidikan yang
telah ditetapkan. Prasyarat yang harus dipernuhi sebagai berikut. Untuk
pendidik yang akan diangkat menjadi PNS harus diterapkan standar minimal
kualifikasi pendidikan. Sementara bagi guru yang sudah memiliki pengalaman
tidak perlu dituntut untuk memenuhi standar ijazah tersebut, karena hanya akan
menyebabkan terjadinya apa yang disebut dengan 'jual beli ijazah' yang juga
dikenal dengan 'STIA' atau 'sekolah tidak ijazah ada'. Yang diperlukan bagi
mereka adalah pendidikan profesi dan sistem diklat berjenjang yang harus
dihargai setara dengan kualifikasi pendidikan tertentu. Jika sistem sertifikasi
ini telah mulai berjalan, maka sistem kenaikan pangkat bagi pendidik dan tenaga
kependidikan sudah waktunya disesuaikan. Kenaikan pangkat pendidik dan tenaga
kependidikan bukan semata-mata sebagai proses administrasi semata-mata,
melainkan lebih merupakan proses penting dalam sertifikasi yang berdasarkan
kompetensi
4. Membangun satu standar
pembinaan karir (career development path)
Seiring dengan pelaksanaan sertifikasi tersebut, disusunlah satu standar pembinaan karier. Sistem itu harus dalam bentuk dokumen yang disyahkan dalam bentuk undang-undang atau setidaknya berupa peraturan pemerintah yang harus dilaksanakan oleh aparat otonomi daerah. Sebagai contoh, untuk menjadi instruktur, atau menjadi kepala sekolah, atau pengawas, seorang pendidik harus memiliki standar kompetensi yang diperlukan, dan harus melalui proses pencapaian yang telah baku. Standar pembinaan karir ini akan dapat dilaksanakan dengan matap apabila memenuhi prasyarat antara lain jika sistem sertifikasi pendidik dan tenaga kependidikan telah berjalan dengan lancar. Selain itu, langkah ketiga ini akan berjalan lancar jika sistem kenaikan pangkat pegawai berdasarkan sertifikasi sudah berjalan.
Seiring dengan pelaksanaan sertifikasi tersebut, disusunlah satu standar pembinaan karier. Sistem itu harus dalam bentuk dokumen yang disyahkan dalam bentuk undang-undang atau setidaknya berupa peraturan pemerintah yang harus dilaksanakan oleh aparat otonomi daerah. Sebagai contoh, untuk menjadi instruktur, atau menjadi kepala sekolah, atau pengawas, seorang pendidik harus memiliki standar kompetensi yang diperlukan, dan harus melalui proses pencapaian yang telah baku. Standar pembinaan karir ini akan dapat dilaksanakan dengan matap apabila memenuhi prasyarat antara lain jika sistem sertifikasi pendidik dan tenaga kependidikan telah berjalan dengan lancar. Selain itu, langkah ketiga ini akan berjalan lancar jika sistem kenaikan pangkat pegawai berdasarkan sertifikasi sudah berjalan.
5. Meneruskan peningkatan
kompetensi melalui kegiatan diklat, dan pendidikan profesi dari lembaga
pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), serta melibatkan organisasi pembinaan
profesi guru dan tenaga kependidikan
Sebagaimana dijelaskan pada langkah sebelumnya, proses rekruitmen guru baru harus dilaksanakan secara jujur dan transparan, dan dengan menggunakan standar kualifikasi yang telah ditetapkan. Standar kualifikasi tersebut tidak dapat ditawar-tawar. Sementara itu, untuk para pendidik yang sudah berpengalaman perlu diberikan kesempatan untuk mengikuti penataran yang dilaksanakan oleh lembaga inservice training yang juga sudah terakreditasi. Selain itu, mereka juga disyaratkan untuk mengikuti pendidikan profesi yang dapat dilaksanakan oleh lembaga tenaga kependidikan (LPTK) yang juga harus terakreditasi.
Sebagaimana dijelaskan pada langkah sebelumnya, proses rekruitmen guru baru harus dilaksanakan secara jujur dan transparan, dan dengan menggunakan standar kualifikasi yang telah ditetapkan. Standar kualifikasi tersebut tidak dapat ditawar-tawar. Sementara itu, untuk para pendidik yang sudah berpengalaman perlu diberikan kesempatan untuk mengikuti penataran yang dilaksanakan oleh lembaga inservice training yang juga sudah terakreditasi. Selain itu, mereka juga disyaratkan untuk mengikuti pendidikan profesi yang dapat dilaksanakan oleh lembaga tenaga kependidikan (LPTK) yang juga harus terakreditasi.
Upaya peningkatan kompetensi
bagi pendidik dan tenaga kependidikan harus dilaksanakan secara terencana dan
terprogram dengan sistem yang jelas. Jumlah pendidik yang besar di negeri ini
memerlukan penanganan secara sinergis oleh semua instansi yang terkait dengan
preservice education, inservice training, dan on the job training. Kegiatan
sinergis peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan harus melibatkan
organisasi pembinaan profesi guru, seperti Kelompok Kerja Guru (KKG),
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS),
dan Musyawarah Kerja Penilik Sekolah (MKPS). Sudah tentu termasuk PGRI,
organisasi perjuangan para guru.
BAB III
PENUTUP
3.1.
KESIMPULAN
Peningkatan
mutu pendidikan tidak dapat dilepaskan dengan upaya peningkatan mutu
pendidiknya dan tenaga kependidikannya. Upaya peningkatan mutu pendidikan tidak
akan memenuhi sasaran yang diharapkan tanpa dimulai dengan peningkatan butu
pendidik dan tenaga kependidikannya.
Upaya
peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan tidak dapat dilepaskan dengan
aspek-aspek penting sebagai berikut:
1. gaji dan standar
kesejahteraan yang layak untuk kehidupannya,
2.
standar
kualifikasi,
3.
standar
kompetensi dan upaya peningkatannya,
4.
sistem
sertifikasi pendidik dan tenaga kependiikan dan alih profesi yang tidak
memenuhi standar kompetensi,
5.
seleksi/rekruitmen
yang jujur dan transparan,
6.
standar
pembinaan karir,
7.
penyiapan
calon pendidik dan tenaga kependidikan yang selaras dengan standar kompetensi,
dan lebih menekankan praktik dan dengan teori yang kuat,
8.
sistem
diklat di lembaga inservice training dan pendidikan profesi di lptk, dan
9.
pemberdayaan
organisasi pembinaan profesional seperti kkg, mgmp, mkks, dan mkps, yang perlu
diberdayakan.
1.2.
SARAN
UU No
32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah memberikan implikasi
yang nyata bagi pengejawantahan UU
No 20 tahun
2003 tentang Sisdiknas
pada tingkat kabupaten/kota. PP
No 19 tahun
2005 pun menjadi
rujukan operasional bagi pengembangan standar
pendidikan di daerah,
Bagi pemerintahan daerah
memfasilitasi 23 pengembangan penyelenggarakan pendidikan
saja tidak cukup,
melainkan haruslah
penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi kepada mutu, sehingga diperoleh
output dan outcome pendidikan yang
mendukung percepatan pembangunan
di daerah. Selain
itu,
pendidikan dapat
menjadi solusi bagi
pengembangan potensi daerah
yang belum terberdayakan secara
optimal serta solusi
dalam meghadapai tantangan
internal dan ekstrenal yang
dewasa ini kian
berat jika tidak
dihadapi dengan kesiapan
sumber daya manusia yang
betul-betul berkualitas
DAFTAR PUSTAKA
David
Atchoarena dan Francoise Caillods. Pendidikan Untuk Abad XXI (UNESCO:
Unesco Publishing, 1998)
Direktorat
Pembinaan SMP, Panduan Pelaksanaan Peningkatan Mutu dan Perluasan Akses SMP
(Dekonsentrasi), ((Departemen Pendidikan Nasional, 2008)
Direktorat
Pembinaan SMP, Panduan Pelaksanaan Gerakan Nasional Percepatan penuntasan
Wajib Belajar 9 Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara, (Departemen Pendidikan
Nasional, 2008)
Direktorat
Pembinaan SMP, Panduan Pelaksanaan Sosialisasi Wajib Belajar 9 Tahun yang
Bermutu, (Departemen Pendidikan Nasional, 2008)
Ditjen
PMPTK, Rencana Pembangunan Tenaga Kependidikan (Jakarta: Depdiknas,
2007)
Edward
Sallis, Total Quality Management in Education, (London: Kogan Page,
1993)
I
Nengah Laba, alumnus Education Center Hannover, Jerman, Ketua Komunitas Guru
Kreatif, Denpasar
Jerome
S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu (Jakarta: Rineka Cipta, 2008)
M,
May, Pekerja Anak dan Perencanaan (AusAID, 1998)
Prayitno,
Hak dan Kewajiban Pendidikan Anak. (Padang: Jurusan BK FI P UNP, 2000.)
Pusat
Bahasa, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Depdiknas, 2008)
Ralp
G Lewis dan Douglas H. Smith, Total Quality in Higher Education (Florida:
St. Lucie Press. 1994)
Slamet,
Margono, Filosofi Mutu dan Penerapan Prinsip-Prinsip Manajemen Mutu Terpadu
(IPB Bogor, 1999)
Soedijarto,
Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, (Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2008)
Suparlan, Website: www.suparlan.com
0 komentar:
Posting Komentar