Senin, 22 Juli 2013

PERMASALAHAN MUTU WAJAR 9 TAHUN DAN MASALAH TENAGA KEPENDIDIKAN

PERMASALAHAN MUTU WAJAR 9 TAHUN DAN MASALAH TENAGA KEPENDIDIKAN
2.1.  Wajib Belajar
2.1.1.      Latar Belakang Pelaksanaan Wajib Belajar
Program Wajib Belajar pada hakikatnya merupakan upaya sistematis pemerintah untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam keseluruhan pem­bangunan nasional serta adaptif dalam penyerapan in­formasi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), yang muaranya adalah mendekatkan pada pencapaian tujuan pembangunan nasional, yakni masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, Program Wajib Belajar juga merupakan salah satu pengembangan skenario pendidikan yang dijangkaukan untuk per­luasan dan pemerataan kesempatan belajar bagi setiap warga negara. Kebijakan tersebut merupakan salah satu pengejawantahan isi pasal 31 UUD 1945 ayat 1 yang me­nyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Hal ini sejiwa dengan Hasil Konferensi Pen­didikan untuk Semua (Education for All) di Jomtien, Thailand, Maret 1990. Konferensi yang dihadiri oleh 1500 peserta dari 155 negara tersebut menegaskan bahwa “pen­didikan merupakan hak bagi semua orang dan juga dapat membantu secara meyakinkan orang menjadi lebih aman, lebih sehat, lebih berhasil, dan lebih berwawasan ling­kungan”.
Dalam kaitannya dengan pendidikan untuk semua ter­sebut, deklarasi pen­didikan untuk semua di Indonesia, khususnya berkaitan dengan pengembangan pendidikan dasar, adalah pen­didikan semesta (Universal Education). Artinya, sistem pendidikan nasional di Indonesia dikerangkakan untuk membuka dan memberikan kesempatan seluas-luasnya ke­pada semua warga negara untuk memperoleh pendidikan dasar.
Sejalan dengan isi deklarasi tersebut, awalnya Program Wajib Belajar di Indonesia dimaknai sebagai pemberian kesempatan belajar seluas-luasnya kepada setiap warga ne­gara untuk mengikuti pendidikan sampai dengan tingkat pendidikan tertentu .Ditinjau dari dimensi pembangunan nasional secara ke­seluruhan, Program Wajib Belajar merupakan salah satu bentuk kebijakan nasional dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Meskipun secara makro, peningkatan sumber daya manusia tersebut juga mencakup aspek sosial dan ekonomi, namun dimensi utama dan kuncinya adalah pendidikan.
Dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan kua­litas sumber daya manusia Indonesia tersebut, sistem pen­didikan nasional harus dapat memberikan pendidikan da­sar bagi setiap warga negara agar masing-masing mem­peroleh sekurang-kurangnya pengetahuan dan kemampu­an dasar yang diperlukan untuk dapat berperan serta da­lam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, Program Wajib Belajar mendesak untuk dilaksanakan sehubungan dengan tuntutan untuk me­ningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai salah satu aset dan potensi utama pembangunan nasional. Menyadari betapa besar dan penting peran pendidikan dalam peningkatan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia, Pemerintah mengambil langkah antisipatif dengan pencanangan dan pemberlakuan Program Wajib Belajar bagi setiap warga negara. Pada tahap awal Pe­merintah telah mencanangkan Program Wajib Belajar 6 Tahun yang pada dasarnya merupakan prasyarat umum bahwa setiap anak usia sekolah dasar (7-12 tahun) harus dapat membaca, menulis, dan berhitung.
Program Wajib Belajar 6 Tahun yang dicanangkan Pe­merintah pada PELITA III tersebut telah memberikan dam­pak positif dan hasil yang menggembirakan, terutama pa­da percepatan pemenuhan kualitas dasar manusia Indo­nesia. Salah satu hasil yang paling mencolok dirasakan, bahwa Program Wajib Belajar 6 Tahun tersebut telah mam­pu menghantarkan Angka Partisipasi (Murni) Sekolah. Dalam rangka memperluas kesempatan pendidikan bagi seluruh warga negara dan juga dalam upaya meningkat­kan kualitas sumber daya manusia Indonesia, Pemerintah melalui PP No. 28/1990 tentang Pendidikan Dasar menetapkan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Orientasi dan prioritas kebijakan tersebut, antara lain: (1) penuntasan anak usia 7-12 tahun untuk Sekolah Dasar (SD), (2) penuntasan anak usia 13-15 tahun untuk SLTP, dan (3) pendidikan untuk semua (educational for all).
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun diharapkan mampu mengantarkan manusia Indonesia pada pemilikan kom­petensi Pendidikan Dasar, sebagai kompetensi minimal. Kompetensi Pendidikan Dasar yang dimaksudkan, mengacu pada kompetensi yang termuat dalam Pasal 13 UU No. 2/1989 yaitu kemam­puan atau pengetahuan dan ketrampilan dasar yang diper­lukan untuk hidup dalam masyarakat serta untuk meng­ikuti pendidikan yang lebih tinggi (pendidikan menengah).  Hal ini juga relevan dengan unsur-unsur kompetensi pen­didikan dasar yang harus dikuasai lulusan seperti yang diidentifikasi oleh The International Development Research Center, meliputi: (1) ke­mampuan berkomunikasi; (2) kemampuan dasar berhitung; (3) pengetahuan dasar tentang negara, budaya, dan se­jarah; (4) pengetahuan dan ketrampilan dasar dalam bi­dang kesehatan, gizi, mengurus rumah tangga, dan mem­perbaiki kondisi kerja; dan (5) kemampuan berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat sebagai individu dan se­bagai anggota masyarakat, memahami hak dan kewajiban­nya sebagai warga negara, bersikap dan berpikir kritis, serta dapat memanfaatkan perpustakaan, buku-buku ba­caan, dan siaran radio.  Program wajib belajar 9 tahun yang didasari konsep “pendidikan dasar untuk semua” (universal basic education), juga sejalan dengan Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia, tentang Hak Anak, dan tentang Hak dan Kewajiban Pendidikan Anak.
Di samping itu, menurut May, wajib belajar 9 tahun juga bertujuan merangsang aspirasi pendidikan orangtua dan anak yang pada gilirannva diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kerja penduduk secara nasional. Untuk itu, target penyelenggaraan wajib belajar 9 tahun bukan semata-mata untuk mencapai target angka partisipasi sesuai dengan target yang ditentukan namun perhatian yang sama ditujukan juga untuk memperbaiki kualitas pendidikan dasar dan pelaksanaan pendidikan yang mangkus (efektif).
Pelaksanaan dan ketuntasan program wajib belajar juga mampu mengurangi angka kemiskinan. Melalui pendidik ini pula, bangsa Indonesia mampu mencapai cita-citanya, yaitu menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. “Pendidikan adalah kekuatan”, maka Bangsa Indonesia akan segera terbebas dari kebodohan dan kemiskinan serta menjadi bangsa yang unggul pada kompetisi global.
Lebih lanjut, wajib belajar merupakan fondasi bagi pengembangan .jenjang pendidikan lebih lanjut dan kemajuan peradaban bangsa khususnya dalam menghadapi tantangan dan perkembangan zaman dan kompetisi tingkat global. Pendidikan dasar juga mampu mewujudkan masyarakat yang cerdas, dan ekonomi yang mapan sehingga negara menjadi maju.
Di sisi lain, pelaksanaan wajar baik 6 tahun maupun 9 tahun secara umum bertujuan untuk: 1) memberikan kesempatan setiap warga negara tingkat minimal SD dan SMP atau yang sederajat, 2) setiap warga negara dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut yang akhirnya mampu memilih dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki, 3) Setiap warga negara mampu berperan serta dalani kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara, dan 4) Memberikan jalan kepada siswa untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
2.1.2.      Strategi Pelaksanaan Wajib Belajar
Strategi pelaksanaan Wajib Belajar 9 Tahun di Indonesia, saat ini, dilaksanakan dengan menerapkan beberapa pendekatan, meliputi: pendekatan budaya, pendekatan sosial, pendekatan agama, pendekatan birokrasi, pendekatan hukum, serta pendekatan konteks.
(a) Pendekatan Budaya
Sosialisasi wajib belajar dilakukan dengan memanfaatkan budaya yang berkembang di daerah tersebut; misalnya daerah yang masyarakatnya senang dengan seni, maka pesan-pesan wajib belajar dapat disisipkan pada gelar seni. Masyarakat yang sangat menghormati adat, maka tokoh adat dilibatkan dalam pemikiran dan pelaksanaan sosialisasi Wajar Dikdas sembilan tahun yang bermutu. Sanksi adat biasanya lebih disegani daripada sanksi hukum.
(b) Pendekatan Sosial
Sosialisasi Wajar Dikdas sembilan tahun yang bermutu perlu memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Bila dalam masyarakat ada tokoh yang disegani dan bisa menjadi panutan, maka tokoh ini perlu dilibatkan dalam sosialisasi. Tokoh masyarakat ini bisa berasal dari tokoh formal, maupun tokoh non formal. Pada masyarakat ekonomi lemah, sosialisasi dilakukan dengan memberikan informasi tentang pelayanan pemerintah untuk pendidikan, misalnya BOS ataupun beasiswa. Bila anak sibuk membantu kerja orangtua, anak tidak harus berhenti bekerja, tetapi disampaikan jenis pendidikan alternatif yang bisa diikuti oleh anak yang bersangkutan, misalnya SMP Terbuka atau program Paket B.
(c) Pendekatan Agama
Pada daerah tertentu ada yang masyarakatnya sangat agamis dan sangat mentaati ayat-ayat suci. Untuk daerah seperti ini peran para tokoh agama sangat sesuai. Dengan mengutip ayat-ayat suci, maka konsep wajib belajar lebih mudah diikuti. Untuk ini motto “belajar adalah ibadah” yang didasarkan atas kajian yang sangat mendalam oleh para tokoh agama dapat diangkat menjadi motto dalam sosialisasi Wajar Dikdas sembilan tahun yang bermutu.
(d) Pendekatan Birokrasi
Pendekatan birokrasi ialah upaya memanfaatkan sistem pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Pembentukan tim koordinasi di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan merupakan salah satu bentuk pendekatan birokrasi. Birokrasi ditempuh karena dengan pendekatan ini lebih mudah diperoleh berbagai faktor penunjang baik tenaga, sarana, maupun dana. Namun demikian pendekatan ini akan lebih berhasil bila digabung dengan pendekatan yang lain.
(e) Pendekatan Hukum
Pendekatan hukum ialah pendekatan yang hanya digunakan untuk daerah yang masyarakatnya memiliki kesadaran terhadap pendidikan sangat rendah dan tingkat resistensinya tinggi. Program Wajib Belajar Sembilan Tahun sampai saat ini masih memberlakukan konsep “universal basic education” dan belum menerapkan konsep “compulsary education”. Artinya, program wajib belajar baru sebatas himbauan tanpa diikuti sanksi hukum. Namun jika diperlukan, UU Nomor 20 tahun 2003, memberi kemungkinan kepada pemerintah untuk menerapkan konsep “compulsary education”, sehingga berkonsekuensi adanya sanksi hukum bagi yang tidak mau melaksanakan tanggung jawabnya terhadap program wajib belajar, baik pemerintah, pemerintah daerah, orangtua, maupun peserta didik.
Untuk mempercepat akselerasi penuntasan wajib belajar, pada tahun 2006 pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Inpres ini menginstruksikan kepada para Menteri terkait, Kepala BPS, Gubernur, Bupati dan Walikota untuk memberikan dukungan dan mensukseskan program pemerintah yang dimaksud.
1.1.3.        Kondisi Pencapaian Wajib Belajar 9 Tahun
Indikator yang dipakai pemerintah untuk mengukur ketercapaian Program Wajib Belajar 9 Tahun adalah pencapaian Angka Partisipasi Kasar (APK). APK adalah hasil perhitungan jumlah siswa SMP/sederajat di suatu daerah dibagi jumlah penduduk usia 13 s.d. 15 tahun dikali 100%. Tingkat ketuntasan daerah dalam melaksanakan program Wajar Dikdas 9 Tahun dikategorikan:
a. Tuntas pratama, bila APK mencapai 80% s.d. 84%
b. Tuntas madya, bila APK mencapai 85 % s.d. 89%
c. Tuntas utama, bila APK mencapai 90% s.d. 94%
d. Tuntas paripurna, bila APK mencapai minimal 95%.
2.2.     Mutu Pendidikan
Mutu secara etimologis bersinonim dengan kata ‘kualitas, bobot, derajat, jenis, karat, kadar, kelas, nilai, taraf’. Dengan kata lain, mutu adalah kondisi (kualitas, bobot, derajat, dst) barang atau jasa yang dihasilkan dari sebuah proses. Batasan mutu biasanya diserta deskripsi proses produksi untuk menghasilkan barang atau jasa tersebut.Pembahasan tentang mutu biasanya tidak dilepaskan dari tonggak sejarah yang menempatkan mutu sebagai esensi utama yang harus dipertimbangkan dari sebuah rencana kerja (produksi).
Dua nama yang sering disebut sebagai “Bapak Mutu” adalah Dr. W. Edward Deming dan Dr. Joseph M. Juran. Keduanya adalah konsultan mutu berkebangsaan Amerika yang berhasil secara gemilang “membangunkan” industri di Jepang setelah hancur lebur pasca Perang Dunia II. Keduanya menempatkan kontrol mutu menjadi salah satu gugus kerja dalam proses produksi. Dalam bidang pendidikan Juran menegaskan bahwa dasar misi mutu sebuah sekolah adalah “mengembangkan program dan layanan yang memenuhi ke­butuhan pengguna seperti siswa dan masyarakat”.
Lewis dan Smith secara lebih rinci menterjemahkan bahwa mutu secara keseluruhan (total quality), termasuk dalam bidang pendidikan, mencakupi tiga ranah yang wajib diperhatikan yaitu: seluruh proses, seluruh pekerjaan, dan seluruh personil yang terlibat. Pertama, total quality mencakup seluruh proses, bukan hanya proses produksi semata. Di dalamnya juga harus tercakup pengembangan proses perancangan, pembangunan, penelitian dan pengembangan, akunting, pemasaran, layanan perbaikan, dan seluruh fungsi lainnya. Kedua, total quality menghendaki dilaksanakannya setiap pekerjaan yang terkait dalam proses secara prima (profesional). Ketiga, total quality menghendaki semua orang yang terlibat dalam pekerjaan bertanggung jawab atas kualitas pekerjaan yang menjadi tugasnya. Wanprestasi pada salah satu pekerjaan akan sangat berpengaruh pada kualitas pekerjaan secara keseluruhan.
Dalam bidang pendidikan, untuk bisa menghasilkan mutu, terdapat empat usaha mendasar yang harus dilakukan dalam suatu lembaga pendidikan, yaitu :
1.      Menciptakan situasi menang-menang (win-win solution) dan bukan situasi kalah­ menang diantara pihak yang berkepentingan dengan lembaga pendidikan (stakeholders). Dalam hal ini terutama antara pimpinan lembaga dengan staf lembaga harus terjadi kondisi yang saling menguntungkan satu sama lain dalam meraih mutu produk/jasa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan tersebut.
2.      Perlunya ditumbuhkembangkan motivasi instrinsik pada setiap orang yang terlibat dalam proses meraih mutu. Setiap orang dalam lembaga pendidikan harus tumbuh motivasi bahwa hasil kegiatannya mencapai mutu tertentu yang meningkat terus menerus, terutama sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna/langganan.
3.      Setiap pimpinan harus berorientasi pada proses dan hasil jangka panjang. Penerapan manajemen mutu terpadu dalam pendidikan bukanlah suatu proses perubahan jangka pendek, tetapi usaha jangka panjang yang konsisten.
4.      Dalam menggerakkan segala kemampuan lembaga pendidikan untuk mencapai mutu yang ditetapkan, harus dikembangkan adanya kerjasama antar unsur-unsur pelaku proses mencapai hasil mutu. Janganlah diantara mereka terjadi persaingan yang mengganggu proses mencapai hasil mutu tersebut. Mereka adalah satu kesatuan yang harus bekerjasama dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain untuk menghasilkan mutu sesuai yang diharapkan.
Dalam kerangka manajemen pengembangan mutu terpadu, usaha pendidikan tidak lain adalah merupakan usaha jasa yang memberikan pelayanan kepada pelangggannya, yaitu mereka yang belajar dalam lembaga pendidikan tersebut.
Pelanggan layanan pendidikan terdiri dari berbagai unsur paling tidak empat kelompok. Mereka itu adalah pertama yang belajar, bisa mahasiswa/ pelajar/murid/peserta belajar yang biasa disebut klien/pelanggan primer (primary external customers). Mereka inilah yang langsung menerima manfaat layanan pendidikan dari lembaga tersebut. Kedua, para klien terkait dengan orang yang mengirimnya ke lembaga pendidikan, yaitu orang tua atau lembaga tempat klien tersebut bekerja, dan mereka ini kita sebut sebagai pelanggan sekunder (secondary external customers). Pelanggan lainnya yang ketiga bersifat tersier adalah lapangan kerja bisa pemerintah maupun masyarakat pengguna output pendidikan (tertiary external customers). Selain itu, yang keempat, dalam hubungan kelembagaan masih terdapat pelanggan lainnya yaitu yang berasal dari intern lembaga; mereka itu adalah para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi lembaga pendidikan, serta pimpinan lembaga pendidikan (internal customers). Walaupun para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi, serta pimpinan lembaga pendidikan tersebut terlibat dalam proses pelayanan jasa, tetapi mereka termasuk juga pelanggan jika dilihat dari hubungan manajemen. Mereka berkepentingan dengan lembaga tersebut untuk maju, karena semakin maju dan berkualitas lem-baga pendidikan mereka akan diuntungkan, baik kebanggaan maupun finansial.
Seperti disebut diatas bahwa program peningkatan mutu harus berorientasi kepada kebutuhan/harapan pelanggan, maka layanan pendidikan suatu lembaga haruslah memperhatikan masing-masing pelanggan diatas. Kepuasan dan kebanggaan dari mereka sebagai penerima manfaat layanan pendidikan harus menjadi acuan bagi program peningkatan mutu layanan pendidikan.
Potensi perkembangan, dan keaktifan murid tentu saja merupakan yang paling utama dalam peningkatan mutu pendidikan. Perkembangan fisik yang baik, baik jasmani maupun otak, menentukan kemajuannya. Demikian pula dengan lainnya, misalnya bakat, perkembangan mental, emosional, pibadi, sosial, sikap mental, nilai-nilai, minat, pengertian, umur, dan kesehatan; kesemuanya akan mempengaruhi hasil belajar dan mutu seseorang. Untuk itu, maka perhatian terhadap paserta didik menjadi sangat penting.
2.3.  Masalah Tenaga Kependidikan
Sosok guru di sekolah harus diakui sebagai bagian penentu terhadap kualitas pendidikan, terhadap kualitas SDM kita. Sekalipun sebagai penentu dalam pendidikan dalam proses pencerdasan kehidupan berbangsa, kesejahteraan para guru sering tanpa ada yang memperhatikan. Kesejahteraan yang makin memburuk membuat para guru terpuruk dalam segala hal, mulai dari sulitnya menyandang kriteria hidup layak sampai kemampuan untuk mengikuti serta mengadopsi perkembangan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud hidup layak di sini adalah punya rumah layak huni, tersedianya dana simpanan untuk kesehatan dan pendidikan anak serta mampu membayar alat transportasi dari rumah ke sekolah. Guru yang kurang sejahtera akan berusaha sedapat mungkin mencari tambahan penghasilan, termasuk menjadi petani ataupun tukang ojek. Konsekuensinya, mereka sering tertinggal untuk mengembangkan diri terhadap pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan.
Hal lain yang berkaitan dengan rendahnya mutu guru adalah masalah pengangkatan guru kontrak atau guru bantu. Dengan menjadi guru kontrak atau guru bantu yang statusnya tidak pasti serta dengan gaji kecil membuat kinerja para guru kontrak dan guru bantu kurang maksimal.
Sekarang ini dimungkinkan bagi lulusan non-LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) untuk memperoleh Akta IV sebagai bentuk kualifikasi mengajar yang perkuliahannya paling lama dua semester, menambah bukti bahwa pemerintah kurang mempunyai konsep yang jelas terhadap arti penting mutu tenaga kependidikan. Akibatnya, mutu pendidikan kita masih jalan di tempat dan jauh tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga ( Malaysia ) yang dulu tenaga pendidiknya belajar di Indonesia.
2.4. Solusi Masalah Tenaga Kependidikan
Untuk meningkatkan kinerja tenaga kependidikan, memang tidak mudah dan banyak hal rumit yang harus dilalui, diantaranya :
1.         Peningkatan gaji dan kesejahteraan guru
Hak utama pendidik yang harus memperoleh perhatian dalam kebijakan pemerintah adalah hak untuk memperoleh penghasilan dan kesejahteraan dengan standar upah yang layak, bukan 'upah minimum'. Kebijakan "upah minimun" boleh jadi telah menyebabkan pegawai bermental kuli, bukan pegawai yang mengejar prestasi. Itulah sebabnya, maka langkah pertama peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan adalah memberikan kesejahteraan guru dengan gaji yang layak untuk kehidupannya. Langkah pertama ini dinilai amat vital dan strategis untuk meningkatkan mutu pendidik dan tenaga kependidikan. Mengapa? Setidaknya ada dua alasan. Pertama, dari lima syarat pekerjaan dapat disebut sebagai profesi, yang masih belum terpenuhi secara sempurna adalah gaji dan kompensasi dari pelaksanaan peran sebagai profesi.  Kelima syarat pekerjaan sebagai profesi adalah
1)      bahwa pekerjaan itu memiliki fungsi dan signifikansi bagi masyarakat,
2)      bahwa pekerjaan itu memerlukan bidang keahlian tertentu,
3)      bidang keahlian itu dapat dicapai dengan melalui cabang pendidikan tertentu (body of knowledge),
4)   bahwa pekerjaan itu memerlukan organisasi profesi dan adanya kode etik tertentu, dan kemudian
5)   bahwa pekerjaan tersebut memerlukan gaji atau kompensasi yang memadai agar pekerjaan itu dapat dilaksanakan secara profesional.
Dari kelima syarat tersesbut, yang masih belum terpenuhi sepenuhnya adalah syarat yang kelima, yakni gaji dan kompensasi yang memadai. Alasan kedua, karena peningkatan gaji dan kesejahteraan merupakan langkah yang memiliki dampak yang paling berpengaruh (multiplier effects) terhadap langkah-langkah lainnya. Kalau perlu, agar langkah pertama tersebut tidak menjadikan iri bagi pekerjaan lainnya, kenaikan gaji dapat dilakukan secara menyeluruh dan bertahap. Hal ini terkait dengan maraknya tindak korupsi yang telah mencapai tingkat yang berbahaya seperti virus yang telah menjangkiti semua aspek kehidupan manusia.
Apa prasyarat yang harus dipenuhi untuk dapat melaksanakan langkah pertama ini dengan baik? Jika standar gaji yang akan dinaikkan itu cukup tinggi, maka kenaikan gaji dapat dilakukan dengan standar kompetensi yang tinggi pula. Yang akan diberikan kenaikan gaji adalah para pendidik dan tenaga kependidikan yang telah mencapai standar kompetensi yang telah ditetapkan. Oleh karena dewasa ini terdapat berbagai pangkat dan golongan pegawai, maka kenaikan gajinya juga diselaraskan dengan pangkat dan golongan pegawai tersebut. Dengan demikian, uji kompetensi harus dilakukan dahulu secara jujur dan transparan. Untuk itu, maka instrumen uji kompetensi harus disiapkan secara matang. Jangan ada kecurangan dalam proses uji kompetensi ini. Jika terjadi kecurangan dalam pelaksanaan uji kompetensi, maka secara otomatis akan dapat merusak seluruh komponen dalam sistem ini. Langkah pertama ini akan berjalan dengan lebih mantap jika sistem pembayaran gajinya telah dilaksanakan dengan melalui bank.
2.   Alih tugas profesi dan rekruitmen guru untuk menggantikan guru atau pendidik yang dialihtugaskan ke profesi lain
Langkah kedua ini merupakan konsekuensi dari langkah pertama. Para pendidik yang tidak memenuhi standar kompetensi harus dialihtugaskan kepada profesi lain. Syaratnya,
1)      mereka telah diberikan kesempatan untuk mengikuti diklat dan pembinaan secara intensif, tetapi tidak menunjukkan adanya perbagian yang signifikan,
2)      guru tersebut memang tidak menunjukkan adanya perubahan kompetensi dan juga tidak ada indikasi positif untuk meningkatkan kompetensinya. Jika syarat tersebut telah dilakukan, maka mereka harus rela dan pantas untuk dialihtugaskan dari profesi guru menjadi tenaga lain yang sesuai, misalnya tenaga administrasi, atau kalau perlu dipensiundinikan.
Untuk mengganti tenaga pendidik yang telah dialihtugaskan ke profesi lain tersebut perlu diadakan seleksi (rekruitmen) secara jujur dan transparan, sesuai standar kualifikasi yang telah ditetapkan. Rekruitmen pendidik yang jujur dan transparan ini telah dilakukan oleh Paulo Freirie dalam rangka reformasi pendidikan di Brazilia. Crass program seperti guru bantu sebaiknya tidak dilakukan di masa-masa mendatang, karena program seperti ini sama dengan ibarat memasang bom waktu yang berbahaya, terutama jika tidak mengelola program ini dengan baik. Program guru bantu dapat saja dimasukkan menjadi satu sistem dalam rekruitmen guru. Artinya, proses rekruitmen guru dilakukan dengan mekanisme melalui guru bantu. Jadi, untuk ikut rekruitmen guru seseorang harus melalui guru bantu. Guru bantu yang tidak lulus tes secara otomatis menjadi masa akhir kontrak kerja untuk menjadi guru bantu.
3.        Membangun sistem sertifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, serta sistem penjaminan mutu pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Langkah ini merupakan langkah yang amat besar, yang akan memberikan dukungan bagi pelaksanaan langkah pertama, yang juga sangat berat, karena terkait dengan anggaran belanja negara yang sangat besar. Penataan sistem sertifikasi pendidik dan tenaga kependidikan tidak boleh tidak harus dilakukan untuk menjamin terpenuhinya berbagai standar nasional pendidikan yang telah ditetapkan. Prasyarat yang harus dipernuhi sebagai berikut. Untuk pendidik yang akan diangkat menjadi PNS harus diterapkan standar minimal kualifikasi pendidikan. Sementara bagi guru yang sudah memiliki pengalaman tidak perlu dituntut untuk memenuhi standar ijazah tersebut, karena hanya akan menyebabkan terjadinya apa yang disebut dengan 'jual beli ijazah' yang juga dikenal dengan 'STIA' atau 'sekolah tidak ijazah ada'. Yang diperlukan bagi mereka adalah pendidikan profesi dan sistem diklat berjenjang yang harus dihargai setara dengan kualifikasi pendidikan tertentu. Jika sistem sertifikasi ini telah mulai berjalan, maka sistem kenaikan pangkat bagi pendidik dan tenaga kependidikan sudah waktunya disesuaikan. Kenaikan pangkat pendidik dan tenaga kependidikan bukan semata-mata sebagai proses administrasi semata-mata, melainkan lebih merupakan proses penting dalam sertifikasi yang berdasarkan kompetensi
4.    Membangun satu standar pembinaan karir (career development path)
Seiring dengan pelaksanaan sertifikasi tersebut, disusunlah satu standar pembinaan karier. Sistem itu harus dalam bentuk dokumen yang disyahkan dalam bentuk undang-undang atau setidaknya berupa peraturan pemerintah yang harus dilaksanakan oleh aparat otonomi daerah. Sebagai contoh, untuk menjadi instruktur, atau menjadi kepala sekolah, atau pengawas, seorang pendidik harus memiliki standar kompetensi yang diperlukan, dan harus melalui proses pencapaian yang telah baku. Standar pembinaan karir ini akan dapat dilaksanakan dengan matap apabila memenuhi prasyarat antara lain jika sistem sertifikasi pendidik dan tenaga kependidikan telah berjalan dengan lancar. Selain itu, langkah ketiga ini akan berjalan lancar jika sistem kenaikan pangkat pegawai berdasarkan sertifikasi sudah berjalan.
5.    Meneruskan peningkatan kompetensi melalui kegiatan diklat, dan pendidikan profesi dari lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), serta melibatkan organisasi pembinaan profesi guru dan tenaga kependidikan
Sebagaimana dijelaskan pada langkah sebelumnya, proses rekruitmen guru baru harus dilaksanakan secara jujur dan transparan, dan dengan menggunakan standar kualifikasi yang telah ditetapkan. Standar kualifikasi tersebut tidak dapat ditawar-tawar. Sementara itu, untuk para pendidik yang sudah berpengalaman perlu diberikan kesempatan untuk mengikuti penataran yang dilaksanakan oleh lembaga inservice training yang juga sudah terakreditasi. Selain itu, mereka juga disyaratkan untuk mengikuti pendidikan profesi yang dapat dilaksanakan oleh lembaga tenaga kependidikan (LPTK) yang juga harus terakreditasi.
Upaya peningkatan kompetensi bagi pendidik dan tenaga kependidikan harus dilaksanakan secara terencana dan terprogram dengan sistem yang jelas. Jumlah pendidik yang besar di negeri ini memerlukan penanganan secara sinergis oleh semua instansi yang terkait dengan preservice education, inservice training, dan on the job training. Kegiatan sinergis peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan harus melibatkan organisasi pembinaan profesi guru, seperti Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), dan Musyawarah Kerja Penilik Sekolah (MKPS). Sudah tentu termasuk PGRI, organisasi perjuangan para guru.





BAB III
PENUTUP

3.1.  KESIMPULAN
Peningkatan mutu pendidikan tidak dapat dilepaskan dengan upaya peningkatan mutu pendidiknya dan tenaga kependidikannya. Upaya peningkatan mutu pendidikan tidak akan memenuhi sasaran yang diharapkan tanpa dimulai dengan peningkatan butu pendidik dan tenaga kependidikannya.
Upaya peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan tidak dapat dilepaskan dengan aspek-aspek penting sebagai berikut:
1.      gaji dan standar kesejahteraan yang layak untuk kehidupannya,
2.        standar kualifikasi,
3.        standar kompetensi dan upaya peningkatannya,
4.        sistem sertifikasi pendidik dan tenaga kependiikan dan alih profesi yang tidak memenuhi standar kompetensi,
5.        seleksi/rekruitmen yang jujur dan transparan,
6.        standar pembinaan karir,
7.        penyiapan calon pendidik dan tenaga kependidikan yang selaras dengan standar kompetensi, dan lebih menekankan praktik dan dengan teori yang kuat,
8.        sistem diklat di lembaga inservice training dan pendidikan profesi di lptk, dan
9.        pemberdayaan organisasi pembinaan profesional seperti kkg, mgmp, mkks, dan mkps, yang perlu diberdayakan.

1.2.      SARAN
UU  No  32  tahun  2004  tentang  Pemerintahan  Daerah memberikan  implikasi  yang nyata  bagi  pengejawantahan  UU  No  20  tahun  2003  tentang  Sisdiknas  pada  tingkat kabupaten/kota.    PP  No  19  tahun  2005  pun  menjadi  rujukan  operasional  bagi pengembangan  standar  pendidikan  di  daerah,  Bagi  pemerintahan  daerah  memfasilitasi 23  pengembangan  penyelenggarakan  pendidikan  saja  tidak  cukup,  melainkan  haruslah penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi kepada mutu, sehingga diperoleh output dan outcome  pendidikan  yang  mendukung  percepatan  pembangunan  di  daerah.  Selain  itu,
pendidikan  dapat  menjadi  solusi  bagi  pengembangan  potensi  daerah  yang  belum terberdayakan  secara  optimal  serta  solusi  dalam  meghadapai  tantangan  internal  dan ekstrenal  yang  dewasa  ini  kian  berat  jika  tidak  dihadapi  dengan  kesiapan  sumber  daya manusia yang betul-betul berkualitas


DAFTAR PUSTAKA

David Atchoarena dan Francoise Caillods. Pendidikan Untuk Abad XXI (UNESCO: Unesco Publishing, 1998)
Direktorat Pembinaan SMP, Panduan Pelaksanaan Peningkatan Mutu dan Perluasan Akses SMP (Dekonsentrasi), ((Departemen Pendidikan Nasional, 2008)
Direktorat Pembinaan SMP, Panduan Pelaksanaan Gerakan Nasional Percepatan penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara, (Departemen Pendidikan Nasional, 2008)
Direktorat Pembinaan SMP, Panduan Pelaksanaan Sosialisasi Wajib Belajar 9 Tahun yang Bermutu, (Departemen Pendidikan Nasional, 2008)
Ditjen PMPTK, Rencana Pembangunan Tenaga Kependidikan (Jakarta: Depdiknas, 2007)
Edward Sallis, Total Quality Management in Education, (London: Kogan Page, 1993)
I Nengah Laba, alumnus Education Center Hannover, Jerman, Ketua Komunitas Guru Kreatif, Denpasar
Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu (Jakarta: Rineka Cipta, 2008)
M, May, Pekerja Anak dan Perencanaan (AusAID, 1998)
Prayitno, Hak dan Kewajiban Pendidikan Anak. (Padang: Jurusan BK FI P UNP, 2000.)
Pusat Bahasa, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Depdiknas, 2008)
Ralp G Lewis dan Douglas H. Smith, Total Quality in Higher Education (Florida: St. Lucie Press. 1994)
Slamet, Margono, Filosofi Mutu dan Penerapan Prinsip-Prinsip Manajemen Mutu Terpadu (IPB Bogor, 1999)
Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2008)
Suparlan, Website: www.suparlan.com

0 komentar:

Posting Komentar