SEJARAH PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DAN PERMASALAHANNYA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pendidikan sudah sepatutnya menentukan masa depan suatu
negara. Bila visi pendidikan tidak jelas, yang dipertaruhkan adalah
kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Visi pendidikan harus diterjemahkan ke dalam
sistem pendidikan yang memiliki sasaran jelas, dan tanggap terhadap
masalah-masalah bangsa. Karena itu, perubahan dalam subsistem pendidikan
merupakan suatu hal yang sangat wajar, karena kepedulian untuk menyesuaikan
perkembangan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sudah seyogyanya
sistem pendidikan tidak boleh jalan di tempat, namun setiap perubahan juga
harus disertai dan dilandasi visi yang mantap dalam menjawab tantangan zaman.
Di Indonesia, berubahnya subsistem pendidikan (kurikulum,
UU) biasanya tidak ditanggapi dengan antusiasme, namun malah sebaliknya membuat
masyarakat ragu apakah penguasa di Indonesia memiliki visi pendidikan yang
jelas atau tidak. Visi pendidikan diharapkan mampu menentukan tujuan pendidikan
yang jelas. Karena, tujuan pendidikan yang jelas pada gilirannya akan
mengarahkan ke pencapaian kompetensi yang dibutuhkan serta metode pembelajaran
yang efektif. Dan pada akhirnya, kelak pendidikan mampu menjawab tuntutan untuk
mensejahterakan masyarakat dan kemajuan bangsa. Setidaknya ada empat
tujuan yang menjadi idealisme pendidikan:
- Perolehan pengetahuan
dan keterampilan (kompetensi) atau kemampuan menjawab permintaan pasar.
- Orientasi humanistik
- Menjawab
tantangan-tantangan sosial, ekonomi, serta masalah keadilan.
- Kemajuan ilmu itu
sendiri.
Dari
keempat tujuan pendidikan di atas, setidaknya poin nomor dua yang berorientasi
pada tujuan memanusiakan manusia atau humanistis, menjadi poin yang penting
dalam proses pendidikan, dan sudah sepatutnya bahwa pendidikan harus menjunjung
hak-hak peserta didik dalam memperoleh informasi pengetahuan.
1.2.
Permasalahan
Dari
latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat ditarik masalah sebagai
berikut :
a.
Bagaimana
Perkembangan Pendidikan Dasar ?
b.
Apa
saja permasalahan yang terjadi pada pendidikan di Indonesia ?
1.3.
Tujuan
a. Dapat Memahami Sejarah
Perkembangan Pendidikan Dasar
b. Mengetahui Permasalahan yang
terjadi pada pendidikan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pendidikan Pra Kemerdekaan
Pendidikan modern di Indonesia dimulai sejak akhir abad
ke-18, ketika belanda mengakhiri politik “tanam paksa” menjadi politik etis,
sebagai akibat kritik dari kelompok sosialis di negeri Belanda yang mengecam
praktik tanam paksa yang menyebabkan kesengsaraan maha dasyat di Hindia
Belanda. Pendidikan “ongko loro” diperkenalkan bukan saja sebagai elaborasi
terhadap desakan kaum sosialis di negeri Belanda, namun juga didasari kebutuhan
pemerintah pendudukan untuk mendapatkan pegawai negeri jajaran rendah di dalam
administrasi pendudukannya. Pendidikan yang digerakkan oleh penjajah belanda
kamudian ditiru kembangkan oleh kaum nasionalis Indonesia.
Sejarah pendidikan di Indonesia modern dimulai dengan
lahirnya gerakan Boedi Oetomo di tahun 1908, “Pagoeyoeban Pasoendan” di tahun
1913, dan Taman Siswa di tahun 1922. Perjuangan kemerdekaan menghasilkan
kemerdekaan RI tahun 1945. Soekarno, presiden pertama Indonesia membawa
semangat “nation and character building” dalam pendidikan Indonesia. Di
seluruh pelosok tanah air didirikan sekolah, dan anak-anak dicari untuk
disekolahkan tanpa dibayar. Untuk meningkatkan kualitas guru, didirikan
pendidikan guru yang diberi nama KPK-PKB, SG 2 tahun, SGA/KPG, kursus B-1
dan kursus B-2.
Masa prakemerdekaan begitu banyak persoalan yang menerpa
dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan pada saat itu masih dipengaruhi oleh
kolonialisme, alhasil bangsa ini dididik untuk mengabdi kepada penjajah atau
setelah pasca kemerdekaan adalah untuk kepentingan para penguasa pada saat itu.
Karena, pada saat penjajahan semua bentuk pendidikan dipusatkan untuk membantu
dan mendukung kepentingan penjajah. Pendidikan di zaman penjajah adalah
pendidikan yang menjadikan penduduk Indonesia bertekuk lutut di bawah ketiak
kolonialis. Bangsa ini tidak diberikan ruang yang lebar guna membaca dan
mengamati banyak realitas pahit kemiskinan yang sedemikian membumi di bumi
pertiwi. Dalam pendidikan kolonialis, pendidikan bagi bangsa ini bertujuan
membutakan bangsa ini terhadap eksistensi dirinya sebagai bangsa yang
seharusnya dan sejatinya wajib dimerdekakan.
Konsep ideal pendidikan kolonialis adalah pendidikan yang
sedemikian mungkin mampu mencetak para pekerja yang dapat dipekerjakan oleh
penjajah pula, bukan lagi untuk memanusiakan manusia sebagaimana dengan konsep
pendidikan yang ideal itu sendiri. Tujuan pendidikan kolonial tidak terarah
pada pembentukan dan pendidikan orang muda untuk mengabdi pada bangsa dan tanah
airnya sendiri, akan tetapi dipakai untuk menanamkan nilai-nilai dan
norma-norma masyarakat penjajah agar dapat ditransfer oleh penduduk pribumi dan
menggiring penduduk pribumi menjadi budak dari pemerintahan kolonial. Selain
itu, agar penduduk pribumi menjadi pengikut negara yang patuh pada penjajah,
bodoh, dan mudah ditundukkan serta dieksploitasi, tidak memberontak, dan tidak
menuntut kemerdekaan bangsanya.
2.2.
Pendidikan Pasca Kemerdekaan dan Masa Orde Lama
Tidak jauh berbeda setelah masa kemerdekaan, pendidikan di
masa pascakolonial melahirkan beberapa hal diantaranya:
1.
Terdapat
banyak sikap hidup yang bisu dan kelu. Kebudayaan bisu dan budaya pedagogi yang
hanya mengandalkan memori otak sehingga menjadikan sekolah hanya sebagai tempat
untuk mendengarkan guru ceramah tanpa siswa diberikan kesempatan untuk berpikir
kritis. Pada saat ini siswa tidak memiliki pilihan untuk tidak mengikuti metode
ceramah ini, karena guru diposisikan sebagai subjek sentral yang harus
dihormati oleh murid.
2.
Penduduk
dipinggiran kota (di kampung-kampung kumuh) ternyata belum mampu berkembang dan
belum dapat diikutsertakan dalam proses pendidikan.
3.
Model
sekolah yang mengikuti model barat ternyata belum hilang bekas-bekas
pengaruhnya dalam mengalami kegagalan.
4.
Di
sekolah-sekolah, bahasa ibu (bahasa daerah asli) didiskualifikasi secara
sistematis, diganti dengan bahasa intelektual dan artifisial penguasa di bidang
politik.
5.
Kaum
elit dan intelektual yang mendapatkan pendidikan dari luar negeri ternyata
tidak akrab dengan masyarakat pribumi.
Oleh karena itu, secara garis besar pendidikan di awal
kemerdekaan diupayakan untuk dapat menyamai dan mendekati sistem pendidikan di
negara-negara maju, khususnya dalam mengejar keserbaterbelakangan di berbagai
sektor kehidupan.
Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud interpretasi
pasca kemerdekaan di bawah kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang
bebas terhadap pendidikan. Pemerintahan yang berasaskan sosialisme menjadi
rujukan dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk dan dijalankan demi
pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang. Pada prinsipnya
konsep sosialisme dalam pendidikan memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan
hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas sosial. Pada masa ini
Indonesia mampu mengekspor guru ke negara tetangga, dan banyak generasi muda
yang disekolahkan di luar negeri dengan tujuan agar mereka kelak dapat kembali
ke tanah air untuk mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat. Tidak ada
halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di sekolah, karena
diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialisme. Pada saat inilah merupakan
suatu era di mana setiap orang merasa bahwa dirinya sejajar dengan yang lain,
serta setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan.
Orde lama berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat,
yang berdiri di atas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga
negara, termasuk dalam bidang pendidikan. Sesungguhnya, inilah amanat UUD 1945
yang menyebutkan salah satu cita-cita pembangunan nasional adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa. Banyak pemikir-pemikir yang lahir pada masa itu, sebab ruang
kebebasan betul-betul dibuka dan tidak ada yang mendikte peserta didik. Tidak
ada nuansa kepentingan politik sektoral tertentu untuk menjadikan pendidikan
sebagai alat negara maupun kaum dominan pemerintah. Seokarno pernah berkata:
“…sungguh
alangkah hebatnya kalau tiap-tiap guru di perguruan taman siswa itu satu persatu
adalah Rasul Kebangunan! Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa kebangunan
dapat ‘menurunkan’ kebangunan ke dalam jiwa sang anak,”
Dari
perkataan Soekarno itu sangatlah jelas bahwa pemerintahan orde lama menaruh
perhatian serius yang sangat tinggi untuk memajukan bangsanya melalui
pendidikan.
Di bawah menteri pendidikan Ki Hadjar Dewantara dikembangkan
pendidikan dengan sistem “among” berdasarkan asas-asas kemerdekaan, kodrat
alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanuasiaan yang dikenal sebagai “Panca
Dharma Taman Siswa” dan semboyan “ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun
karso, tut wuri handayani” pada 1950 diundangkan pertama kali peraturan
pendidikan nasional yaitu UU No. 4/1950 yang kemudian disempurnakan (jo)
menjadi UU No. 12/1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di
sekolah. Pada 1961 diundangkan UU No. 22/1961 tentang Pendidikan Tinggi,
dilanjutkan dengan UU No.14/1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional, dan UU
No. 19/1965 tentang Pokok-Pokok Sitem Pendidikan Nasional Pancasila. Pada masa
akhir pendidikan Presiden Soekarno, 90 % bangsa Indonesia berpendidikan SD.
2.3.
Posisi Siswa sebagai Subjek dalam Kurikulum Orde Lama
Jika kita berbicara tentang kurikulum, maka sudah sepatutnya
kita membicarakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum pada
era Orde Lama dibagi manjadi 2 kurikulum di antaranya:
2.3.1.
Rentang Tahun 1945-1968
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai
istilah dalam bahasa Belanda “leer plan” artinya rencana pelajaran.
Perubahan arah pendidikan lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan
Belanda ke kepentingan nasional. Sedangkan, asas pendidikan ditetapkan
Pancasila. Kurikulum yang berjalan saat itu dikenal dengan sebutan “Rencana
Pelajaran 1947”, yang baru dilaksanakan pada tahun 1950. Orientasi Rencana
Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Yang diutamakan
adalah: pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat.
Pada
masa tersebut siswa lebih diarahkan bagaimana cara bersosialisasi dengan
masyarakat. Proses pendidikan sangat kental dengan kehidupan sehari-hari. Aspek
afektif dan psikomotorik lebih ditekankan dengan pengadaan pelajaran kesenian
dan pendidikan jasmani. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana
menumbuhkan kesadaran bela negara.
2.3.2.
Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang
disebut “Rencana Pelajaran Terurai 1952”. Silabus mata pelajarannya jelas
sekali, dan seorang guru mengajar satu mata pelajaran. Pada masa ini memang
kebutuhan peserta didik akan ilmu pengetahuan lebih diperhatikan, dan satuan
mata pelajaran lebih dirincikan. Namun, dalam kurikulum ini siswa masih
diposisikan sebagai objek karena guru menjadi subjek sentral dalam
pentransferan ilmu pengetahuan. Guru yang menentukan apa saja yang akan
diperoleh siswa di kelas, dan guru pula yang menentukan standar-standar
keberhasilan siswa dalam proses pendidikan.
2.3.3.
Kurikulum 1964
Fokus kurikulum 1964 adalah pada pengembangan daya cipta,
rasa, karsa, karya, dan moral (Panca wardhana). Mata pelajaran
diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan,
emosional/artistik, keterampilan, dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih
menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis. Pada kurikulum
1964 ini, arah pendidikan mulai merambah lingkup praksis. Dalam pengertian
bahwa setiap pelajaran yang diajarkan disekolah dapat berkorelasi positif
dengan fungsional praksis siswa dalam masyarakat.
2.4.
Pendidikan Masa Orde Baru
Orde baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998, dan dapat
dikatakan sebagai era pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan
pendidikan, khususnya pendidikan dasar, terjadi suatu loncatan yang sangat
signifikan dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) Pendidikan Dasar. Namun,
yang disayangkan adalah pengaplikasian inpres ini hanya berlangsung dari segi
kuantitas tanpa diimbangi dengan perkembangan kualitas. Yang terpenting pada
masa ini adalah menciptakan lulusan terdidik sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan
kualitas pengajaran dan hasil didikan.
Pelaksanaan pendidikan pada masa orde baru ternyata banyak
menemukan kendala, karena pendidikan orde baru mengusung ideologi “keseragaman”
sehingga memampatkan kemajuan dalam bidang pendidikan. EBTANAS, UMPTN, menjadi
seleksi penyeragaman intelektualitas peserta didik. Selain itu, masa ini juga
diwarnai dengan ideologi militeralistik dalam pendidikan yang bertujuan untuk
melanggengkan status quo penguasa. Pendidikan militeralistik diperkuat
dengan kebijakan pemerintah dalam penyiapan calon-calon tenaga guru negeri.
Pada pendidikan orde baru kesetaran dalam pendidikan tidak
dapat diciptakan karena unsur dominatif dan submisif masih sangat kental dalam
pola pendidikan orde baru. Pada masa ini, peserta didik diberikan beban materi
pelajaran yang banyak dan berat tanpa memperhatikan keterbatasan alokasi
kepentingan dengan faktor-faktor kurikulum yang lain untuk menjadi peka
terhadap lingkungan. Beberapa hal negatif lain yang tercipta pada masa ini
adalah:
1.
Produk-produk
pendidikan diarahkan untuk menjadi pekerja. Sehingga, berimplikasi pada
hilangnya eksistensi manusia yang hidup dengan akal pikirannya (tidak
memanusiakan manusia).
2.
Lahirnya
kaum terdidik yang tumpul akan kepekaan sosial, dan banyaknya anak muda yang
berpikiran positivistik
3.
Hilangnya
kebebasan berpendapat.
Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto mengedepankan
moto “membangun manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia”.
Pada tahun 1969-1970 diadakan Proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP)
dan menemukan empat masalah pokok dalam pendidikan di Indonesia: pemerataan,
mutu, relevansi, dan efisiensi pendidikan. Dan hasilnya digunakan untuk
membentuk Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K).
pada masa orde baru dibentuk BP-7 yang menjadi pusat pengarus utamaan (mainstreaming)
pancasila dan UUD 1945 dengan produknya mata ajar Pendidikan Moral Pancasila
(PMP) dan penataran P-4. Ditahun 1980 mulai timbul masalah pendidikan di
Indonesia. Salah satunya adalah “pengangguran terdidik”. Depdiknas di bawah
Menteri Wardiman Djojohadiningrat (kabinet pembangunan VI) mengedepankan wacana
pendidikan “link and match” sebagai upaya untuk memperbaiki pendidikan
Indonesia pada masa itu.
2.5.
Posisi Siswa Sebagai Subjek dalam Era Orde Baru
Telah
dipaparkan sebelumnya bahwa pada masa ini seluruh bentuk pendidikan ditujukkan
untuk memenuhi hasrat penguasa, terutama untuk pembangunan nasional. Siswa
sebagai peserta didik, dididik untuk menjadi manusia “pekerja” yang kelak
akan berperan sebagai alat penguasa dalam menentukan arah kebijakan negara.
Pendidikan bukan ditujukan untuk mempertahankan eksistensi manusia, namun untuk
mengeksploitasi intelektualitas mereka demi hasrat kepentingan penguasa.
2.5.1.
Kurikulum 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis, mengganti Rencana
Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Dengan suatu
pertimbangan untuk tujuan pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum
1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan
Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Muatan materi pelajaran
bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan.
Pada
masa ini siswa hanya berperan sebagai pribadi yang masif, dengan hanya
menghapal teori-teori yang ada, tanpa ada pengaplikasian dari teori tersebut.
Aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan pada kurikulum ini. Praktis,
kurikulum ini hanya menekankan pembentukkan peserta didik hanya dari segi
intelektualnya saja.
2.5.2.
Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih
efektif dan efisien berdasar MBO (management by objective). Metode,
materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem
Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah “satuan pelajaran”,
yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci
menjadi : tujuan instruksional umum (TIU), tujuan instruksional khusus
(TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan
evaluasi.
Pada kurikulum ini peran guru menjadi lebih penting, karena
setiap guru wajib untuk membuat rincian tujuan yang ingin dicapai selama proses
belajar-mengajar berlangsung. Tiap guru harus detail dalam perencanaan
pelaksanaan program belajar mengajar. Setiap tatap muka telah di atur dan
dijadwalkan sedari awal. Dengan kurikulum ini semua proses belajar mengajar
menjadi sistematis dan bertahap.
2.5.3.
Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung “process skill approach”.
Proses menjadi lebih penting dalam pelaksanaan pendidikan. Peran siswa dalam
kurikulum ini menjadi mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga
melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student
Active Leaming (SAL). CBSA memposisikan guru sebagai fasilitator, sehingga
bentuk kegiatan ceramah tidak lagi ditemukan dalam kurikulum ini. Pada
kurikulum ini siswa diposisikan sebagai subjek dalam proses belajar mengajar.
Siswa juga diperankan dalam pembentukkan suatu pengetahuan dengan diberi
kesempatan untuk mengemukakan pendapat, bertanya, dan mendiskusikan sesuatu.
2.5.4.
Kurikulum 1994
Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan
kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Pada
kurikulum ini bentuk opresi kepada siswa mulai terjadi dengan beratnya beban
belajar siswa, dari muatan nasional sampai muatan lokal. Materi muatan
lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah
kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain.
Berbagai
kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesak agar isu-isu tertentu
masuk dalam kurikulum. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum
super padat. Siswa dihadapkan dengan banyaknya beban belajar yang harus mereka
tuntaskan, dan mereka tidak memiliki pilihan untuk menerima atau tidak terhadap
banyaknya beban belajar yang harus mereka hadapi.
2.6.
Pendidikan pada Masa Reformasi
Era reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi
perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan
revolusioner. Bentuk kurikulum menjadi berbasis kompetensi. Begitu pula bentuk
pelaksanaan pendidikan berubah dari sentralistik (orde lama) menjadi
desentralistik. Pada masa ini pemerintah menjalankan amanat UUD 1945 dengan
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran
pendapatan belanja negara.
“Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%)
dari anggaran pendapatan dan belanja negara, serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
Dengan didasarkan oleh UU No. 22 tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah, yang diperkuat dengan UU No. 25 tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka pendidikan digiring pada
pengembangan lokalitas, di mana keberagaman sangat diperhatikan. Masyarakat
dapat berperan aktif dalam pelaksanaan satuan pendidikan.
Pendidikan di era reformasi 1999 mengubah wajah sistem
pendidikan Indonesia melalui UU No 22 tahun 1999, dengan ini pendidikan menjadi
sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pemerintah memperkenalkan model
“Manajemen Berbasis Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi kebutuhan akan sumber
daya manusia yang berkualitas, maka dibuat sistem “Kurikulum Berbasis
Kompetensi”.
Memasuki tahun 2003 pemerintah membuat UU No.20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional menggantikan UU No 2 tahun 1989., dan sejak
saat itu pendidikan dipahami sebagai:
“usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan Negara.”
Mendiknas kabinet bersatu Bambang Sudibyo memperkenalkan
beberapa inovasi penting bagi daerah yang berhasil melaksanakan pembangunan
pendidikan, mengelola pengadaan buku untuk sekolah, dan mengembangkan wajib
belajar 9 tahun, menetapkan guru sebagai profesi agar bisa sejajar dengan
profesi terhormat lainnya
Tak ada gading yang tak retak, pendidikan di masa reformasi
juga belum sepenuhnya dikatakan berhasil. Karena, pemerintah belum memberikan
kebebasan sepenuhnya untuk mendesain pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan
kepentingan lokal, misalnya penentuan kelulusan siswa masih diatur dan
ditentukan oleh pemerintah. Walaupun telah ada aturan yang mengatur posisi
siswa sebagai subjek yang setara dengan guru, namun dalam pengaplikasiannya,
guru masih menjadi pihak yang dominan dan mendominasi siswanya, sehingga dapat
dikatakan bahwa pelaksanaan proses pendidikan Indonesia masih jauh dari
dikatakan untuk memperjuangkan hak-hak siswa.
2.7.
Kurikulum Berbasis Kompetensi
Pada pelaksanaan kurikulum ini, posisi siswa kembali
ditempatkan sebagai subjek dalam proses pendidikan dengan terbukanya ruang
diskusi untuk memperoleh suatu pengetahuan. Siswa justru dituntut untuk aktif
dalam memperoleh informasi. Kembali peran guru diposisikan sebagai fasilitator
dalam perolehan suatu informasi. KBK berupaya untuk Menekankan pada
ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal,
berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang
bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya
yang memenuhi unsur edukatif. Hal ini mutlak diperlukan mengingat KBK juga
memiliki visi untuk memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik siswa sebagai
subjek pendidikan. Berikut karakteristik utama KBK, yaitu:
1.
Menekankan
pencapaian kompetensi siswa, bukan tuntasnya materi.
2.
Kurikulum
dapat diperluas, diperdalam, dan disesuaikan dengan potensi siswa (normal,
sedang, dan tinggi).
3.
Berpusat
pada siswa.
4.
Orientasi
pada proses dan hasil.
5.
Pendekatan
dan metode yang digunakan beragam dan bersifat kontekstual.
6.
Guru
bukan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan.
7.
Buku
pelajaran bukan satu-satunya sumber belajar.
8.
Belajar
sepanjang hayat;
9.
Belajar
mengetahui (learning how to know),
10.
Belajar
melakukan (learning how to do),
11.
Belajar
menjadi diri sendiri (learning how to be),
12.
Belajar
hidup dalam keberagaman (learning how to live together).
Pengembangan KBK mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan
dengan model-model lainnya.
1.
Pendekatan
ini bersifat alamiah (kontekstual), karena berangkat, berfokus, dan bermuara
pada hakekat peserta didik untuk mengembangkan berbagai kompetensi sesuai
dengan potensinya masing-masing.
2.
Kurikulum
berbasis kompetensi boleh jadi mendasari pengembangan kemampuan-kemampuan lain.
Penguasaan ilmu pengetahuan, keahlian tertentu dalam suatu pekerjaan, kemampuan
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, serta pengembangan aspek-aspek
kepribadian dapat dilakukan secara optimal berdasarkan standar kompetensi
tertentu.
3.
Ada
bidang-bidang studi atau mata pelajaran tertentu yang dalam pengembangannya lebih
tepat menggunakan pendekatan kompetensi, terutama yang berkaitan dengan
keterampilan.
2.8.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006
Secara umum KTSP tidak jauh berbeda dengan KBK namun
perbedaan yang menonjol terletak pada kewenangan dalam penyusunannya, yaitu
mengacu pada desentralisasi sistem pendidikan. Pemerintah pusat menetapkan
standar kompetensi dan kompetensi dasar, sedangkan sekolah dalam hal ini guru
dituntut untuk mampu mengembangkan dalam bentuk silabus dan penilaiannya
sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya.
Jadi pada kurikulum ini sekolah sebagai satuan pendidikan
berhak untuk menyusun dan membuat silabus pendidikan sesuai dengan kepentingan
siswa dan kepentingan lingkungan. KTSP lebih mendorong pada lokalitas
pendidikan. Karena KTSP berdasar pada pelaksanaan KBK, maka siswa juga
diberikan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan secara terbuka berdasarkan
sistem ataupun silabus yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
Dalam kurikulum ini, unsur pendidikan dikembalikan kepada
tempatnya semula yaitu unsur teoritis dan praksis. Namun, dalam kurikulum ini
unsur praksis lebih ditekankan dari pada unsur teoritis. Setiap kebijakan yang
dibuat oleh satuan terkecil pendidikan dalam menentukan metode pembelajaran dan
jenis mata ajar disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan lingkungan sekitar.
Kurikulum ini diharapkan mampu memfasilitasi siswa untuk mengenal nilai-nilai
sosial yang ada di masyarakat sekitar dengan cara menginventarisir kebutuhan,
menentukan metode pengembangan, mempelajari, dan terjun langsung ke lapangan.
Siswa pun menjadi subjek yang berhak pula menentukan pelajaran apa yang akan
mereka dapatkan di sekolah, sehingga ketika mereka lulus, mereka dapat langsung
mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat disekolah pada masyarakat sekitar.
Sejak
T,B Silalahi menjadi Menteri Penertiban Aparatur Negara (PAN), latihan
prajabatan calon-calon guru pegawai negeri sipil (PNS) tidak di bawah
penanganan pakar akademisi, peneliti, atau pekerja sosial, yang dekat dengan
profesi guru, melainkan di bawah instruksi militer. Dengan sendirinya wacana
yang ditawarkan bukanlah soal perluasan ilmu pengetahuan dan pendalaman
filosofi pendidikan, melainkan direduksi menjadi aktivitas fisik, dengan asumsi
bahwa seorang guru perlu memiliki stamina (fisik) yang kuat untuk menjalankan
tuigasnya.
Pengangguran terdidik adalah orang yang belum atau tidak
bekerja, namun memiliki latar belakang pendidikan yang cukup memadai, hal ini
disebabkan oleh belum adanya lapangan kerja yang dapat menampung mereka. Pada
Rakernas Depdiknas 1983, presiden Soeharto sempat memberikan pernyataan “jangan
sampai kita menghasilkan tenaga terdidik melebihi tenaga yang diperlukan.
“Link and match” merupakan upaya pemerintah
pada waktu itu untuk mengurangi pengangguran terdidik, dengan maksud untuk
menyesuaikan antara jumlah lulusan dengan kebutuhan pasar. Hal ini dijelaskan
dalam UU yang dibuat pada tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
berisi “pendidikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik…bagi peranannya
di masa yang akan datang”.
2.9.
Permasalahan Pendidikan Dasar
Di Indonesia
Pada tahun 1984 dicanangkan wajib belajar pendidikan dasar
enam tahun, dan setelah sepuluh tahun berjalan kembalai dicanangkan oleh
pemerintah melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1994 ditetapkan Program Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 9 Tahun. Hal ini berarti bahwa setiap anak Indonesia yang
berumur 7 s/d 15 tahun diwajibkan untuk mengikuti Pendidikan Dasar 9 Tahun
sampai tamat. Dan lagi harapan itu begitu besar untuk agar masyarakat Indonesia
minimal sampai tamat sekolah menengah pertama. Jika secara jujur mengevaluasi
program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Enam Tahun yang sudah 10 tahun
dicanangkan, kita masih dapat melihat masih cukup banyak masyarakat Indonesia
yang belum tamat setingkat pendidikan dasar. Permasalahan – permasalahan
tersebut bukan semakin memudar, justru semakin mengkristal dan melahirkan
masalah-masalah baru. Program-program baru pun muncul sebagai penunjang
Wajadikdas 9 Tahun ini seperti: SMP Terbuka, SD-SMP Satu Atap, USB Dll.
Sudah genap 19 tahun program Wajib Belajar Pendidikan Dasar
9 Tahun di canangkan oleh pemerintah Indonesia. Kondisi-kondisi permasalahan
terus membanyangi hingga saat ini, kendala-kendala dari berbagai aspek fisik
maupun nonfisik masih belum dapat teratasi dengan optimal. Bahkan pemerintah
menjanjikan akan tuntas pada tahun 2009, dengan melihat kondisi real dimana
masih banyak masyarakat yang belum dapat meniklmati pendidikan. Sungguh ini
suatu ironi, dimana di UUD 1945 dinyatakan mendapatkan pendidikan adalah suatu
hak warga Negara sedangkan melalui Inpres dicanangkan wajib belajar. Sebenarnya
pendidikan itu adalah hak atau kewajiban ?
Pendidikan dasar di Indonesia saat ini tengah mengalami
permasalahan yang cukup komplek. Baru-baru ini Indeks Pendidikan Indonesia atau
EDI (Education Development Index) menurun yang dilaporkan oleh EFA (Education
for All). Posisi berada dalam kategori sedang bersama 53 negara lainnya. Dengan
penilaian pada kategori angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf
pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan jender, dan
angka bertahan siswa hingga kelas 5 sekolah dasar. Peringkat melorot dari 58
pada tahun sebelumnya menjadi 62, setingkat di atas kita yang tahun sebelumnya
sempat berada di bawah . Dari kategori penilaian tersebut dapat diketahui bahwa
masih sedikit lebih baik di antara negara-negara se kawasan seperti, Kamboja,
dan. Mungkin saja tahun ke depan dan Kamboja akan melampaui angka pencapaian
Negara kita, ini ditunjukkan peningkatan total indeks pendidikan setiap
tahunnya. Olehnya itu patut menjadi perhatian bahwa jatuhnya peringkat indeks
dari tahun sebelumnya berarti kuantitas angka partisipasi pendidikan dasar
menurun belum lagi kalau berbicara kualitas.
Masalah lain dalam pendidikan kita adalah tidak tersusunnya
pola yang jelas dalam kurikulum pembelajaran sekolah. Kurikulum sekolah yang
semestinya dijadikan acuan dalam sistem pengajaran, belum bisa diterapkan
dengan semestinya di beberapa daerah. Hal ini dikarenakan oleh kurangnya
fasilitas mengajar dibeberapa daerah. Ini menyebabkan kualitas lulusan
sekolah-sekolah tersebut tidak dapat bersaing dengan lulusan sekolah-sekolah di
kota-kota besar di Indonesia.
Dan yang lebih menyediakan lagi adalah masih kurangnya
tenaga pengajar di daerah-daerah pelosok. Masih banyak tenaga guru yang
mengajar dari kelas satu sampai kelas enam sekolah dasar. Ini dikarenakan
minimnya tenaga pengajar didaerah tersebut. Seperti terjadi didaerah Batam.
Terdapat guru yang mengajar dua rombongan belajar secara bersamaan. Parahnya,
dua rombongan belajar itu dididik dalam satu ruangan. Penghasilan guru sekolah
dasar yang rendah menjadi alasan utama bagi putra asli daerah untuk terjun
sebagai tenaga pengajar.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Dari Pembahasan diatas telah
dijelaskan sejarah peerkembangan pendidikan yang selama ini kita tida mengetaui
bagaimana perlembangan pendidikan serta permasalahan yang muncul dalam
pendidikan. Pendidikan dasar di Indonesia saat ini tengah mengalami
permasalahan yang cukup komplek.
Baru-baru ini Indeks
Pendidikan Indonesia atau EDI (Education Development Index) menurun yang
dilaporkan oleh EFA (Education for All). Posisi berada dalam kategori sedang
bersama 53 negara lainnya. Dengan penilaian pada kategori angka partisipasi pendidikan
dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut
kesetaraan jender, dan angka bertahan siswa hingga kelas 5 sekolah dasar.
Peringkat melorot dari 58 pada tahun sebelumnya menjadi 62, setingkat di atas
kita yang tahun sebelumnya sempat berada di bawah . Dari kategori penilaian
tersebut dapat diketahui bahwa masih sedikit lebih baik di antara negara-negara
se kawasan seperti, Kamboja, dan. Mungkin saja tahun ke depan dan Kamboja akan
melampaui angka pencapaian Negara kita, ini ditunjukkan peningkatan total
indeks pendidikan setiap tahunnya. Olehnya itu patut menjadi perhatian bahwa
jatuhnya peringkat indeks dari tahun sebelumnya berarti kuantitas angka
partisipasi pendidikan dasar menurun belum lagi kalau berbicara kualitas.
3.2.
Saran
Kami sangat berharap apabila
setelah membaca makalah ini kiranya dapat membuka pola pikir kita sebagai guru
untuk lebih jeli dalam mengidentifikasi masalah dan mencarikan solusinya untuk
peningkatan pendidikan akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Haryatmoko,
“Menuju Orientasi Pendidikan Humanis dan Kritis”, dalam buku Menemukan
Kembali Kebangsaan dan Kebangsaan, (Jakarta: Departemen Komunikasi dan
Informatika, 2008)
Kartini
Kartono, Tujuan Pendidikan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional,
(Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1997)
Moh.
Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia. (Jogjakarta: Ar Ruz, 2009Rianti
Nugroho, Pendidikan Indonesia: Harapan,
Visi,dan Strategi, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
0 komentar:
Posting Komentar