MASALAH PENDIDIKAN DASAR
1.1.
Latar Belakang
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia
untuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan
tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru
yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai
permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut,
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual
beserta cara penanggulangannya.
Suatu pendidikan dipandang bermutu-diukur dari kedudukannya
untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan
nasional-adalah pendidikan yang berhasil membentuk generasi muda yang cerdas,
berkarakter, bermoral dan berkepribadian. Untuk itu perlu dirancang suatu
sistem pendidikan yang mampu menciptakan suasana dan proses pembelajaran yang
menyenangkan, merangsang dan menantang peserta didik untuk mengembangkan diri
secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Memberikan kesempatan
kepada setiap peserta didik berkembang secara optimal sesuai dengan bakat dan
kemampuannya adalah salah satu prinsip pendidikan demokratis.
Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih
terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan
yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional,
biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan uu pendidikan kacau. Dampak dari
pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan
ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik
di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.
Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan
secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang
sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan
anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas sumber daya manusia dan mutu
pendidikan di indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan wajib belajar
sembilan tahun sejatinya masih menjadi pr besar bagi kita. Kenyataan yang dapat
kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana
pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan
tahun mengakibatkan anak-anak indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum
mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut,
bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini
keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada
kompetisi di era global.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut :
a.
Apa
yang dimaksud dengan pendidikan dan dasar pendidikan di Indonesia?
b.
Apa
saja masalah prndidikan yang terjadi Indonesia?
c.
Bagaimana
solusi yang tepat untuk mengatasinya?
1.3.
Tujuan
a.
Memahami
Pengertian pendidikan dan dasar pendidikan di Indonesia
b.
Mengetahui
Masalah pendidikan yang ada di Indonesia
c.
Memberikan
Solusi yang tepat untuk Permasalahan Pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
Masalah Mendasar : Sekularisme Sebagai Paradigma Pendidikan
Jarang
ada orang mau mengakui dengan jujur, sistem pendidikan kita adalah sistem yang
sekular-materialistik. Biasanya yang dijadikan argumentasi, adalah uu sisdiknas
no. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, “pendidikan nasional bertujuan
membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa,
berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara
yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan
tanah air.”
Tapi perlu diingat, sekularisme
itu tidak otomatis selalu anti agama. Tidak selalu anti “iman” dan anti
“taqwa”. Sekularisme itu hanya menolak peran agama untuk mengatur kehidupan
publik, termasuk aspek pendidikan. Jadi, selama agama hanya menjadi masalah
privat dan tidak dijadikan asas untuk menata kehidupan publik seperti sebuah
sistem pendidikan, maka sistem pendidikan itu tetap sistem pendidikan sekular,
walaupun para individu pelaksana sistem itu beriman dan bertaqwa (sebagai
perilaku individu).
Sesungguhnya diakui atau tidak, sistem pendidikan kita
adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Hal ini dapat dibuktikan
antara lain pada uu sisdiknas no. 20 tahun 2003 bab vi tentang jalur, jenjang
dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: jenis
pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi,
keagaman, dan khusus.
Akhirnya, sektor-sektor modern (industri manufaktur,
perdagangan, dan jasa) diisi oleh orang-orang yang relatif awam terhadap agama
karena orang-orang yang mengerti agama terkumpul di dunianya sendiri (madrasah,
dosen/guru agama, depag), tidak mampu terjun di sektor modern.
Jadi, pendidikan sekular memang bisa membikin orang pandai,
tapi masalah integritas kepribadian atau perilaku, tidak ada jaminan sama
sekali. Sistem pendidikan sekular itu akan melahirkan insan pandai tapi buta
atau lemah pemahaman agamanya. Lebih buruk lagi, yang dihasilkan adalah orang
pandai tapi korup. Profesional tapi bejat moral. Ini adalah out put umum dari
sistem pendidikan sekular.
Sistem pendidikan yang material-sekularistik tersebut
sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat
dan bernegara yang juga sekular. Dalam sistem sekular, aturan-aturan,
pandangan, dan nilai-nilai islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan
untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Karena itu, di
tengah-tengah sistem sekularistik ini lahirlah berbagai bentuk tatanan yang
jauh dari nilai-nilai agama.
2.2.
Solusi PemecahanMasalah Mendasar
Penyelesaian masalah mendasar tentu harus dilakukan secara
fundamental. Itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara
menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi
paradigma islam. Ini sangat penting dan utama.
Artinya,
setelah masalah mendasar diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang
pendidikan diselesaikan, baik itu masalah rendahnya sarana fisik, kualitas
guru, kesejahteraan gutu, prestasi siswa, kesempatan pemerataan pendidikan,
relevansi pendidikan dengan kebutuhan, dan mahalnya biaya pendidikan. Solusi
masalah mendasar itu adalah merombak total asas sistem pendidikan yang ada,
dari asas sekularisme diubah menjadi asas islam, bukan asas yang lain.
Bentuk
nyata dari solusi mendasar itu adalah mengubah total uu sistem pendidikan yang
ada dengan cara menggantinya dengan uu sistem pendidikan islam. Hal paling
mendasar yang wajib diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas
sistem pendidikan itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem
pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum.
2.3.
Masalah-Masalah Cabang
Masalah-masalah
cabang yang dimaksud di sini, adalah segala masalah selain masalah paradigma
pendidikan, yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan. Masalah-masalah
cabang ini tentu banyak sekali macamnya, di antaranya yang terpenting adalah
sebagai berikut :
2.3.1.
Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk Sarana Fisik Misalnya, Banyak Sekali Sekolah Dan
Perguruan Tinggi Kita Yang Gedungnya Rusak, Kepemilikan Dan Penggunaan Media
Belajar Rendah, Buku Perpustakaan Tidak Lengkap. Sementara Laboratorium Tidak
Standar, Pemakaian Teknologi Informasi Tidak Memadai Dan Sebagainya. Bahkan
Masih Banyak Sekolah Yang Tidak Memiliki Gedung Sendiri, Tidak Memiliki
Perpustakaan, Tidak Memiliki Laboratorium Dan Sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) Menyebutkan Untuk Satuan Sd
Terdapat 146.052 Lembaga Yang Menampung 25.918.898 Siswa Serta Memiliki 865.258
Ruang Kelas. Dari Seluruh Ruang Kelas Tersebut Sebanyak 364.440 Atau 42,12%
Berkondisi Baik, 299.581 Atau 34,62% Mengalami Kerusakan Ringan Dan Sebanyak
201.237 Atau 23,26% Mengalami Kerusakan Berat. Kalau Kondisi Mi Diperhitungkan
Angka Kerusakannya Lebih Tinggi Karena Kondisi Mi Lebih Buruk Daripada Sd Pada
Umumnya. Keadaan Ini Juga Terjadi Di Smp, Mts, Sma, Ma, Dan Smk Meskipun Dengan
Persentase Yang Tidak Sama.
2.3.2.
Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan Guru Di Indonesia Juga Amat Memprihatinkan.
Kebanyakan Guru Belum Memiliki Profesionalisme Yang Memadai Untuk Menjalankan
Tugasnya Sebagaimana Disebut Dalam Pasal 39 Uu No 20/2003 Yaitu Merencanakan
Pembelajaran, Melaksanakan Pembelajaran, Menilai Hasil Pembelajaran, Melakukan
Pembimbingan, Melakukan Pelatihan, Melakukan Penelitian Dan Melakukan
Pengabdian Masyarakat.
Bukan Itu Saja, Sebagian Guru Di Indonesia Bahkan Dinyatakan
Tidak Layak Mengajar. Persentase Guru Menurut Kelayakan Mengajar Dalam Tahun
2002-2003 Di Berbagai Satuan Pendidikan Sbb: Untuk Sd Yang Layak Mengajar Hanya
21,07% (Negeri) Dan 28,94% (Swasta), Untuk Smp 54,12% (Negeri) Dan 60,99%
(Swasta), Untuk Sma 65,29% (Negeri) Dan 64,73% (Swasta), Serta Untuk Smk Yang
Layak Mengajar 55,49% (Negeri) Dan 58,26% (Swasta).
Kelayakan Mengajar Itu Jelas Berhubungan Dengan Tingkat
Pendidikan Guru Itu Sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) Menunjukkan Dari
Sekitar 1,2 Juta Guru Sd/Mi Hanya 13,8% Yang Berpendidikan Diploma
D2-Kependidikan Ke Atas. Selain Itu, Dari Sekitar 680.000 Guru Sltp/Mts Baru
38,8% Yang Berpendidikan Diploma D3-Kependidikan Ke Atas. Di Tingkat Sekolah
Menengah, Dari 337.503 Guru, Baru 57,8% Yang Memiliki Pendidikan S1 Ke Atas. Di
Tingkat Pendidikan Tinggi, Dari 181.544 Dosen, Baru 18,86% Yang Berpendidikan
S2 Ke Atas (3,48% Berpendidikan S3).
Walaupun Guru Dan Pengajar Bukan Satu-Satunya Faktor Penentu
Keberhasilan Pendidikan Tetapi, Pengajaran Merupakan Titik Sentral Pendidikan
Dan Kualifikasi, Sebagai Cermin Kualitas, Tenaga Pengajar Memberikan Andil
Sangat Besar Pada Kualitas Pendidikan Yang Menjadi Tanggung Jawabnya. Kualitas
Guru Dan Pengajar Yang Rendah Juga Dipengaruhi Oleh Masih Rendahnya Tingkat
Kesejahteraan Guru.
2.3.3.
Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat
rendahnya kualitas pendidikan indonesia. Berdasarkan survei fgii (federasi guru
independen indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru
menerima gaji bulanan serbesar rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata
guru pns per bulan sebesar rp 1,5 juta. Guru bantu rp, 460 ribu, dan guru
honorer di sekolah swasta rata-rata rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti
itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang
mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek,
pedagang mie rebus, pedagang buku/lks, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya
(republika, 13 juli, 2005).
Dengan adanya uu guru dan dosen, barangkali kesejahteraan
guru dan dosen (pns) agak lumayan. Pasal 10 uu itu sudah memberikan jaminan
kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat
penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan
yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta
penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat
pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri
menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah
kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan pikiran rakyat 9
januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 pts di jawa barat dan banten tidak
sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat uu guru dan
dosen (pikiran rakyat 9 januari 2006).
Permasalahan kesejahteraan guru biasanya akan berimplikasi
pada kinerja yang dilakukannya dalam melaksanakan proses pendidikan.
Berdasarkan hasil survei dari human development index (hdi) menunjukkan bahwa
sebanyak 60% guru sd, 40% guru sltp, 43% guru smu, dan 34% guru smk belum
memenuhi standardisasi mutu pendidikan nasional. Lebih berbahaya lagi jika
dilihat dari hasil temuan yang menunjukkan 17,2% guru di indonesia mengajar
bukan pada bidang keahlian mereka. (toharuddin, oktober 2005).
Guru sebagai tenaga kependidikan juga memiliki peran yang
sentral dalam penyelenggaraan suatu sistem pendidikan. Sebagai sebuah pekerjaan,
tentu dengan menjadi seorang guru juga diharapkan dapat memperoleh kompensasi
yang layak untuk kebutuhan hidup. Dalam teori motivasi, pemberian reward dan
punishment yang sesuai merupakan perkara yang dapat mempengaruhi kinerja dan
mutu dalam bekerja, termasuk juga perlunya jaminan kesejahteraan bagi para
pendidik agar dapat meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan yang selama ini
masih terpuruk. Dalam hal tunjangan, sudah selayaknya guru mendapatkan
tunjangan yang manusiawi untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya mengingat
peranan dari seorang guru yang begitu besar dalam upaya mencerdaskan suatu
generasi.
2.3.4.
Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik,
kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi
tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa
indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut trends in mathematic
and science study (timss) 2003 (2004), siswa indonesia hanya berada di ranking
ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44
negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di
bawah siswa malaysia dan singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 september 2004 lalu United Nations
For Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang
kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang
berjudul human development report 2004. Di dalam laporan tahunan ini indonesia
hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan
negara-negara tetangga saja, posisi indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut laporan bank dunia
(greaney,1992), studi iea (internasional association for the evaluation of
educational achievement) di asia timur menunjukan bahwa keterampilan membaca
siswa kelas iv sd berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca
untuk siswa sd: 75,5 (hongkong), 74,0 (singapura), 65,1 (thailand), 52,6
(filipina), dan 51,7 (indonesia).
Anak-anak indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari
materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk
uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa
menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi the third international mathematic
and science study-repeat-timss-r, 1999 (iea, 1999) memperlihatkan bahwa,
diantara 38 negara peserta, prestasi siswa sltp kelas 2 indonesia berada pada
urutan ke-32 untuk ipa, ke-34 untuk matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi
menurut majalah asia week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik
ternyata 4 universitas terbaik di indonesia hanya mampu menempati peringkat
ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
2.3.5.
Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan.
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat
sekolah dasar. Data balitbang departemen pendidikan nasional dan direktorat
jenderal binbaga departemen agama tahun 2000 menunjukan angka partisipasi murni
(apm) untuk anak usia sd pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa).
Pencapaian apm ini termasuk kategori tinggi. Angka partisipasi murni pendidikan
di sltp masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan
pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini
nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara
keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan
pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut
2.3.6.
Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang
menganggur. Data bappenas (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan
angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan smu sebesar 25,47%,
diploma/s0 sebesar 27,5% dan pt sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama
pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat
pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data balitbang depdiknas
1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki
keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri.
Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini
disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang
dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
2.3.7.
Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul
untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk
mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari taman kanak-kanak
(tk) hingga perguruan tinggi (pt) membuat masyarakat miskin tidak memiliki
pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk tk dan sdn saja saat ini dibutuhkan biaya rp
500.000, — sampai rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas rp 1 juta.
Masuk sltp/slta bisa mencapai rp 1 juta sampai rp 5 juta. Makin mahalnya biaya
pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan
mbs (manajemen berbasis sekolah). Mbs di indonesia pada realitanya lebih
dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, komite
sekolah/dewan pendidikan yang merupakan organ mbs selalu disyaratkan adanya
unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih
luas. Hasilnya, setelah komite sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu
berkedok, “sesuai keputusan komite sekolah”. Namun, pada tingkat
implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan
anggota komite sekolah adalah orang-orang dekat dengan kepala sekolah.
Akibatnya, komite sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan kepala sekolah,
dan mbs pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara
terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya ruu tentang badan
hukum pendidikan (ruu bhp). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke
bentuk badan hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar.
Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung
jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya
tidak jelas. Perguruan tinggi negeri pun berubah menjadi badan hukum milik
negara (bhmn). Munculnya bhmn dan mbs adalah beberapa contoh kebijakan
pendidikan yang kontroversial. Bhmn sendiri berdampak pada melambungnya biaya
pendidikan di beberapa perguruan tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam
sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk
memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri indonesia sebesar 35-40 persen
dari apbn setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan.
Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban.
Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (kompas, 10/5/2005).
Dari apbn 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk
pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25%
belanja dalam apbn (www.kau.or.id). Rencana pemerintah memprivatisasi
pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti undang-undang
sistem pendidikan nasional, ruu badan hukum pendidikan, rancangan peraturan
pemerintah (rpp) tentang pendidikan dasar dan menengah, dan rpp tentang wajib
belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam
pasal 53 (1) uu no 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas).
Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal
yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal
untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator lsm education
network for justice (enj), yanti mukhtar (republika, 10/5/2005) menilai bahwa
dengan privatisasi pendidikan berarti pemerintah telah melegitimasi
komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan
pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk
menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan
mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu.
Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan
berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan
status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi revrisond bawsir.
Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang
telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat bank dunia. Melalui
rancangan undang-undang badan hukum pendidikan (ruu bhp), pemerintah berencana
memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan
hukum pendidikan (bhp) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini
berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari sd hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa ptn yang sekarang berubah
status menjadi badan hukum milik negara (bhmn) itu menjadi momok. Jika
alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku
di indonesia. Di jerman, prancis, belanda, dan di beberapa negara berkembang
lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah.
Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau
tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang
seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk
menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat
bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya
pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana
tidak dapat dijadikan alasan bagi pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
2.3.8.
Belum Menghasilkan Life Skill
Yang Sesuai
Dalam kaitannya dengan life skill yang dihasilkan oleh
peserta didik setelah menempuh suatu proses pendidikan, maka berdasarkan pp
no.19/2005 sebagaimana dalam pasal 13 bahwa:1) kurikulum untuk smp/mts/ smplb
atau bentuk lain yang sederajat, sma/ma/smalb atau bentuk lain yang sederajat,
smk/mak atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukan pendidikan kecakapan
hidup. 2) pendidikan kecakapan hidup yang dimaksud meliputi kecakapan sosial,
kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional.
Selain itu ditetapkan pula standar kompetensi lulusan, dalam
pasal 26 ditetapkan sebagai berikut: 1). Standar kompetensi lulusan pada
jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakan dasar kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri,
dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 2). Standar kompetensi lulusan pada
jenjang pendidikan menengah umum bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, akhlak mulia, serta keterampilan hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut. 3). Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan
menengah kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan
kepribadianm akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya. 4). Standar kompetensi
lulusan pada jenjang pendidikan tinggi bertujuan untuk mempersiapkan peserta
didik menjadi anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan,
keterampilan, kemandirian, dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta
menerapkan ilmu, teknologi dan seni yang bermanfaat bagi kemanusiaan.
Adapun kriteria penilaian hasil belajar dapat dilakukan oleh
pendidik, satuan pendidikan, maupun pemerintah. Penilaian hasil belajar oleh
pendidik diatur dalam pasal 64 antara lain penilaian hasil belajar kelompok
mata pelajaran agama, akhlak mulia, pendidikan kewarganegaraan dan akhlak mulia
dilakukan melalui: a. Pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk
menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik, serta. B. Ulangan, ujian,
dan atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik. Penilaian hasil
belajar kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi diukur melalui
ulangan, penugasan, dan atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik
materi yang dinilai. Penilaian hasil belajr kelompok mata pelajaran estetika
dilakukan melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk
menilai perkembangan afeksi dan ekspresi psikomotorik peserta didik. Penilaian
hasil belajar kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan
dolakukan melalui: a. Pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk
meniali perkembangan psikomotorik dan afektif peserta didik, dan; b. Ulangan
dan atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dalam menciptakan life
skill yang diharapkan dimiliki oleh siswa ukuran yang digunakan adalah
penilaian-penilaian di atas. Namun kenyataan sebaliknya justru menunjukan bahwa
korelasi antara proses pendidikan selama ini dengan pembentukan kepribadian
siswa merupakan hal yang dipertanyakan? Kasus tawuran antar pelajar, seks
bebas, narkoba, dan berbagai masalah sosial lainnya merupakan indikator yang
relevan untuk mempertanyakan hal ini.
2.3.9.
Pendidikan Yang Belum
Berbasis Pada Masyarakat Dan Potensi Daerah
Struktur kurikulum yang ditetapkan berdasarkan uu no.20/2003
dalam pasal 36 tentang kurikulum menyebutkan: (1) pengembangan kurikulum
dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional. (2) kurikulum pada semua jenjang dan jenis
pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan
pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. (3) kurikulum disusun sesuai
dengan jenjang pendidikan dalam kerangka negara kesatuan republik indonesia
dengan memperhatikan: a. Peningkatan iman dan takwa; b. Peningkatan akhlak
mulia; c. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; d.
Keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. Tuntutan pembangunan daerah dan
nasional; f. Tuntutan dunia kerja; g. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni; h. Agama; i. Dinamika perkembangan global; dan j. Persatuan nasional
dan nilai-nilai kebangsaan. (4) ketentuan mengenai pengembangan kurikulum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
Dalam pp no.19/2005 antara lain dalam pasal 6 yang
menyebutkan:1) kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas kelompok mata pelajaran
agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan akhlak mulia, ilmu pengetahuan dan
teknologi, estetika, jasmani, olahraga dan kesehatan. 6). Kurikulum dan silabus
sd/mi/sdlb/paket a, atau bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya
kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis. Kecakapan berhitung, serta
kemampuan berkomunikasi.
Masyarakat dan lingkungan tempat tinggal merupakan bagian
yang terintegrasi dengan siswa sebagai peserta didik. Proses pendidikan yang
sebenarnya tentu melibatkan peranan keluarga, lingkungan-masyarakat dan
sekolah, sehingga jika salah satunya tidak berjalan dengan baik maka dapat
mempengaruhi keberlangsungan pendidikan itu sendiri.
2.3.10.
Belum Optimalnya Kemitraan
Dengan Dunia Usaha/ Dunia Industri
Berkaitan dengan peranan masyarakat dalam pendidikan dalam
uu no.20/2005 sisdiknas pasal 54 tentang peran serta masyarakat dalam
pendidikan menyebutkan : (1) peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi
peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha,
dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu
pelayanan pendidikan. (2) masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber,
pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. (3) ketentuan mengenai peran serta
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
Sebagai contoh, sebagaimana diungkapkan oleh kadisdik jabar,
dadang dally bahwa dunia usaha dan dunia industri merupakan bagian dari
masyarakat yang memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan sistem
pendidikan nasional. Perihal kegiatan kerjasama dengan dunia usaha sinergitas
telah mulai dilakukan. Prosesnya telah memasuki tahap inventarisasi.
Implementasinya, dunia usaha didorong untuk membangun sekolah, bukan menggalang
dana dari dunia usaha. (www.bapeda-jabar.go.id/2006)
Hal yang justru memunculkan kerawanan saat ini adalah dengan
adanya ruu bhp maka peranan pihak swasta (pengusaha) mendapatkan akses yang
lebih luas untuk mengelola pendidikan, sehingga bagaimana jadinya kalau
kemitraan dengan du/di tersebut ternyata menempatkan pengusaha ataupun
perusahaan sebagai pihak yang berinvestasi dalam lembaga pendidikan dengan
menuntut adanya return yang sepadan dari investasinya tersebut? Kondisi ini
pada akhirnya akan memperkokoh keberlangsungan kapitalisasi pendidikan.
Dalam kaitan antara penyerapan du/di terhadap lulusan
sekolah maka berdasarkan data bappenas (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990
menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan smu sebesar
25,47%, diploma/s0 sebesar 27,5% dan pt sebesar 36,6%, sedangkan pada periode
yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat
pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data balitbang depdiknas
1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki
keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri.
Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini
disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang
dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
2.3.11.
Proses Pembelajaran Yang
Konvensional
Dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran, selama ini
sekolah-sekolah menyelenggarakan pendidikan dengan segala keterbatasan yang
ada. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan sarana-prasarana, ketersediaan dana,
serta kemampuan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang efektif.
Dalam pp no 19/2005 tentang standar nasional pendidikan
disebutkan dalam pasal 19 sampai dengan 22 tentang standar proses pendidikan,
bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik
serta psikologis peserta didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya
perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan yang efektif dan efisien
dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan standar yang ditetapkan di atas, maka proses
pembelajaran yang dilakukan antara peserta didik dengan pendidik seharusnya
harus meninggalkan cara-cara dan model yang konvensional sehingga dapat
mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Kenyataan saat ini,
banyak diantara pendidik di kota bandung yang masih melaksanakan proses
pembelajaran secara konvensional bahkan diantaranya belum menguasai teknologi
informasi seperti komputer dan internet. sebagaimana di beritakan dalam http://www.pikiran rakyat.com (03/2004) bahwa ternyata di kota bandung banyak
guru sd yang belum menguasai komputer dan internet. menurut forum aksi guru
indonesia (fagi) kota bandung, hanya sebagian kecil guru yang sudah menguasai
teknologi tersebut, padahal menguasai komputer akan mempermudah tugas guru,
misalnya ketika memproses nilai-nilai siswa. terutama guru-guru yang sudah lama
mengabdi, sedikit sekali menguasai komputer dan mengakses internet. apalagi
guru-guru sd, sehingga sekarang ini pada umumnya kemampuan dalam penguasaan
teknologi informasi ini kalah oleh para siswanya. padahal, dengan penguasaan
teknologi informasi tersebut akan mempermudah tugas rutin para guru. selama
ini, tugas tersebut dilakukan guru secara manual. kurangnya penguasaan komputer
tersebut bukan karena tidak tersedianya sarana komputer di sekolah, namun
karena kurang kemampuan dan kemauan. sehingga, komputer tersebut lebih banyak
digunakan oleh bagian tata usaha. akibatnya, saat seorang guru yang memerlukan
jasa komputer, cenderung untuk minta bantuan tenaga karyawan tata usaha.
Sudah selayaknya profesi sebagai seorang pendidik
membutuhkan kompetensi yang terintegrasi baik secara intelektual-akademik,
sosial, pedagogis, dan profesionalitas yang kesemuanya berlandaskan pada sebuah
kepribadian yang utuh pula, sehingga dalam menjalankan fungsinya sebagai
pendidik senantiasa dapat mengembangkan model-model pembelajaran yang efektif,
inovatif, dan relevan.
2.3.12.
Mutu
SDM Pengelola Pendidikan
Sumber daya pengelola pendidikan bukan hanya seorang guru
atau kepala sekolah, melainkan semua sumber daya yang secara langsung terlibat
dalam pengelolaan suatu satuan pendidikan. rendahnya mutu dari sdm pengelola
pendidikan secara praktis tentu dapat menghambat keberlangsungan proses
pendidikan yang berkualitas, sehingga adaptasi dam sinkronisasi terhadap
berbagai program peningkatan kualitas pendidikan juga akan berjalan lamban.
Dalam kaitannya dengan regulasi pengelolaan pendidikan maka
yang dilakukan oleh pemerintah saat ini mengacu pada uu no.20/2003 dan pp no
19/2005 tentang SNP yang dalam pasal 49 tentang standar pengelolaan oleh satuan
pendidikan yang intinya menyebutkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan dasar
dan menengah menerapkan pola manajemen berbasis sekolah, sedangkan untuk satuan
pendidikan tinggi menerapkan pola otonomi perguruan tinggi. Standar pengelolaan
oleh satuan pendidikan diantaranya satuan pendidikan harus memiliki pedoman
yang mengatur tentang : kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus;
kalender pendidikan/akademik; struktur organisasi; pembagian tugas diantara
pendidik; pembagian tugas diantara tenaga kependidikan; peraturan akademik;
tata tertib satuan pendidikan; kode etik hubungan; biaya operasional satuan
pendidikan.
Kemudian standar pengelolaan oleh pemerintah daerah (pasal
59) meliputi penyusunan rencana kerja pendidikan dengan memprioritaskan: wajib
belajar; peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan
menengah; penuntasan pemberantasan buta aksara; penjaminan mutu pada satuan
pendidikan; peningkatan status guru sebagai profesi; akreditasi pendidikan;
peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat; dan pemenuhan
standar pelayanan minimal (spm) bidang pendidikan.
Sedangkan standar pengelolaan oleh pemerintah (pasal 60)
meliputi penyusunan rencana kerja tahunan dengan memprioritaskan program: wajib
belajar; peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan
menengah dan tinggi; penuntasan pemberantasan buta aksara; penjaminan mutu pada
satuan pendidikan; peningkatan status guru sebagai profesi; peningkatan mutu
dosen; standardisasi pendidikan; akreditasi pendidikan; peningkatan relevansi
pendidikan terhadap kebutuhan lokal, nasional dan global; pemenuhan standar
pelayanan minimal (spm) bidang pendidikan; dan penjaminan mutu pendidikan
nasional.
Dengan memahami kerangka dasar penyelenggaraan pendidikan
nasional yang berlandaskan sekulerisme, maka standar pengelolaan pendidikan
secara nasionalpun akan sejalan dengan sekulerisme tersebut, semisal adanya
mekanisme mbs dan otonomi pt sebagaimana disebutkan di atas yang merupakan
implementasi dari otonomi pendidikan.
2.4.
Solusi Pemecahannya Masalah Cabang
Seperti diuraikan di atas, selain adanya masalah mendasar,
sistem pendidikan di indonesia juga mengalami masalah-masalah cabang, Untuk
mengatasi masalah-masalah cabang di atas, secara garis besar ada dua solusi
yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah
sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui
sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan.
Sistem pendidikan di indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem
ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain
meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk
pendanaan pendidikan. Maka, solusi untuk masalah-masalah cabang yang ada,
khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik,
kesejahteraan gutu, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga
perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan
sistem pendidikan islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam.
Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem
ekonomi islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung
segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal
teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk
menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa. Maka, solusi untuk
masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk
meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di
samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan
membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan
memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya
prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan
kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana
pendidikan, dan sebagainya. Upaya perbaikan secara tambal sulam dan parsial,
semisal perbaikan kurikulum, kualitas pengajar, sarana-prasarana dan sebagainya
tidak akan dapat berjalan dengan optimal sepanjang permasalahan mendasarnya
belum diperbaiki.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dalam kaitannya dengan regulasi pengelolaan pendidikan maka
yang dilakukan oleh pemerintah saat ini mengacu pada uu no.20/2003 dan pp no
19/2005 tentang SNP yang dalam pasal 49 tentang standar pengelolaan oleh satuan
pendidikan yang intinya menyebutkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan dasar
dan menengah menerapkan pola manajemen berbasis sekolah, sedangkan untuk satuan
pendidikan tinggi menerapkan pola otonomi perguruan tinggi. Standar pengelolaan
oleh satuan pendidikan diantaranya satuan pendidikan harus memiliki pedoman
yang mengatur tentang : kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus;
kalender pendidikan/akademik; struktur organisasi; pembagian tugas diantara
pendidik; pembagian tugas diantara tenaga kependidikan; peraturan akademik;
tata tertib satuan pendidikan; kode etik hubungan; biaya operasional satuan
pendidikan.
3.2. Saran
Begitu banyaknya masalah yang terjadi pada pendidikan kita
selama ini kiranya sebagai guru yang baik dapat memberikan seolusi untuk
memecahkan berbagai permasalahan dalan
pengelolaan pedidikan. kiranya harapan kami agar pembaca makalah ini dapat
memberikan kontribusi dalam upaya memecahkan masalah pendidika sebagaimana yang
telah diuraikan ppada bab sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Data Balitbang
Depdiknas 2003
Undang-Undang No 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
inilah realita pendidikan di negara kita, banyak anak yang cerdas dan pintar ingin sekolah tapi dihadapkan dengan keaadaan yang tidak memungkinkan untuk sekolah, sementara negara tidak hadir untuk memfasilitasi pendidikan mereka, (Tetap semangat para pendidik di seluruh indonesia walaupun negara hanya menuntut mu profesional sementara tidak memfasilitasimu untuk menjadi profesional), thanks atas tulisannya
BalasHapus